DUA peristiwa ini tidak berkaitpaut satu sama lain. Setidaknya kelihatan demikian. Satu peristiwa penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satu lagi undangan jamuan makan untuk mantan Ketua KPK, yang sebelumnya dipenjarakan karena kasus pembunuhan. Tepatnya, dituding terlibat dalam konspirasi pembunuhan.
Orang yang ditangkap KPK adalah pejabat juga –ditangkap bersamaan dengan sepuluh orang lain. Pejabat tinggi negara. Tidak tanggung-tanggung.
Informasi yang beredar, pejabat tersebut berinisial PA, seorang Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). PA, diyakini, merupakan inisial Patrialis Akbar.
Keyakinan yang belakangan memang ditegaskan oleh KPK.
Sebelum menjabat Hakim MK, Patrialis adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di kabinet Indonesia Bersatu II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menjadi menteri dari tahun 2009 sampai 2011.
Pertanyaannya apakah kedua peristiwa ini berhubungan? Apakah memiliki benang merah?
Mungkin tidak, walaupun jika ditarik-tarik dan dirunut-runut bisa jadi memang ada. Jika ditarik dan dirunut, maka benang merah ini akan mengarah ke SBY.
Kenapa SBY? Patrialis Akbar tidak akan sampai pada posisi Hakim MK apabila tidak ada campur tangan SBY.
Pascadidepak dari kabinet, Patrialis menepi dari politik. Dia mendapatkan jabatan baru sebagai komisaris di satu perusahaan. Namun tak lama. Dua tahun berselang Patrialis kembali ke gelanggang.
Lewat Keputusan Presiden (Keppres), SBY menjadikannya Hakim MK. Ribut-ribut pun mencuat.
Sejumlah kalangan melempar protes. Mendiang Adnan Buyung Nasution, misalnya, penunjukan dan pengangkatan Patrialis oleh SBY dipandangnya sebagai tindakan otoriter.
Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Gugatan serupa datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Mereka menyebut Keppres Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai Hakim MK cacat hukum karena dalam prosesnya tidak transparan dan partisipatif. Proses ini juga tidak didahului penggodokan oleh DPR dan tidak pula dipublikasikan kepada masyarakat.
PTUN kemudian mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan agar Keppres Nomor 87 Tahun 2013 dicabut. Patrialis bereaksi. Pemerintah bereaksi. Presiden SBY juga bereaksi.
Keputusan PTUN mereka sikapi dengan banding dan berhasil. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), pada Juli 2014, membatalkan keputusan PTUN dan Patrialis sah menjabat Hakim MK sampai masa kerjanya berakhir di tahun 2018.
Lantas hari-hari pun berlalu. Patrialis Akbar menjadi bagian dari banyak perkara penting yang menyita perhatian luas di negeri ini. Di antaranya tentu saja gugatan pasangan Prabowo Subiyanto dan Hatta Rajasa terkait hasil Pemilu Presiden 2014. Dan Patrialis, sejauh itu, “bermain aman”. Tak ada keputusan kontroversial yang lahir darinya.
Di luar itu, walau tak radikal-radikal amat, terjadi perubahan pada penampilannya. Patrialis yang necis semasa masih menjadi politisi PAN, anggota DPR dan menteri, tidak lagi melulu mengenakan jas dan kemeja yang serba mengkilap. Dia mulai memelihara janggut. Lumayan panjang dan lebat. Dia juga sering menjadi pembicara dalam acara-acara keagamaan.
Perubahan ini tentu tak jadi soal. Tak perlu dibahas unsur-unsur yang mendorongnya apalagi sampai diukur tingkat keseriusan dan keikhlasannya. Bahwa ternyata kemudian Patrialis ditangkap KPK karena diduga terlibat kongkalikong yang merugikan negara, dan penangkapan itu sendiri konon dilakukan di satu hotel di satu kawasan yang terkenal sebagai kawasan “lampu merah” di Jakarta, saya kira itu persoalan lain.
Kita tidak bisa menilai, apalagi memvonis, Patrialis telah melakukan penistaan terhadap janggutnya atau terhadap kata-kata dalam ceramah-ceramahnya atau terhadap agamanya, sebab ini hak prerogatif Tuhan.
Hanya Tuhan yang dapat menilai dan memvonis apakah Patrialis termasuk ke dalam golongan orang-orang munafik atau tidak.
Namun bagi SBY, penangkapan Patrialis jelas-jelas pukulan telak. Penangkapan yang membuktikan setidaknya dua hal: (1) SBY mengangkat orang yang salah dengan keppres yang salah; dan (2) SBY ngotot mempertahankan dua kesalahannya.
Pukulan ini sangat menyakitkan. Sebangsa hook yang menyengat atau jab yang tajam. SBY pun “terhuyung”. Apalagi kemudian datang satu upper cut dari Istana Negara. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang Antasari Azhar, setelah sebelumnya mengabulkan permohonan grasi yang diajukan mantan Ketua KPK itu.
Upper cut yang sungguh ganas. Perpaduan upper cut Manny Pacquaio dan Connor McGregor. Pasang surut hubungan Antasari dan SBY telah lama jadi konsumsi publik.
Walau tidak pernah diungkap secara eksplisit, kita tahu masih ada yang tersembunyi dari kasus pembunuhan seorang pengusaha bernama Nasruddin Zulkarnain yang menyeret Antasari ke balik bui.
Banyak yang tidak percaya Antasari terlibat. Banyak yang tidak percaya Antasari dapat bertindak senekat dan sebodoh itu: memerintahkan pembunuhan cuma gara-gara kecemburuan atas seorang caddy golf yang tidak terlalu cantik.
Banyak yang –diam-diam atau terang- terangan– menghubung-hubungkan peristiwa itu dengan peristiwa pengungkapan kasus korupsi di Bank Indonesia yang berakhir pada pemenjaraan Aulia Pohan, besan SBY. Juga dugaan kasus kecurangan Pemilu 2009 yang dimenangkan SBY-Budiono. Istilah sekarangnya, Antasari Azhar dikriminalisasi.
Banyak yang tahu bagaimana Antasari terus berjuang mengungkap kebenaran dan memperoleh keadilan dan semua usaha itu sia-sia belaka di era SBY.
Antasari dikirim ke penjara dan dibiarkan mendekam di sana, sampai SBY turun dari kursi kekuasaan, dan presiden penggantinya, Jokowi, meneken grasi yang diajukannya.
Dan pada hari Kamis, 26 Januari 2017, Antasari datang ke Istana Negara. Dia diundang Jokowi untuk berbincang-bincang sembari bersantap siang. Padahal undangan seperti ini belum pernah sampai ke Cikeas.