Topik Nusantara

Anies-Sandi vs Reklamasi Teluk Jakarta

“KONSEPSI reklamasi pada hakikatnya manusia butuh daratan, a.l. untuk permukiman, pertanian, dan industri. Melihat luas daratan, kekayaan sumber daya alam, dan jumlah penduduk, perlukah reklamasi di Teluk Jakarta? Jika dihentikan, untuk apa yang sudah telanjur?”

Anies-Sandi menang di Pilkada DKI 2017. Rakyat menuntut janji politiknya, menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta. Konon ketika kampanye, Anies-Sandi berjanji menghentikan reklamasi. Jawaban tersebut tentu sudah ada kajian dari tim pakarnya.

Setelah pilkada dimenangi Anies-Sandi, kontan di medsos muncul dua postingan yang menggelitik. Postingan tersebut kurang lebih “Pengusaha China: Kalau Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami Lengserkan”.

Satunya lagi “Pengusaha China: Kalau Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami Lengserkan”. Janji Anies-Sandi dengan dua judul tersebut antagonistis, tendensius yang menimbulkan berbagai tafsir. Ada kesan Anies-Sandi tidak sejalan dengan pemerintah pusat dan pengembang.

Masalah reklamasi memang perlu dikaji lagi dari berbagai aspek kehidupan manusia, itulah langkah yang harus dilakukan Anies-Sandi. Tidak boleh hanya memakai pendekatan ekonomi dan kajian lingkungan hidup strategis saja karena bisa berbahaya.

Kajian komprehensif yang menghasilkan keputusan membahayakan atau tidak membahayakan ketahanan nasional perlu dikaji dengan pendekatan aspek Pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan) dan Trigatra (geografi, kekayaan alam, demografi).

Melalui kajian yang komprehensif oleh pakar atau kaum intelektual, yang tidak memiliki kepentingan selain profesionalisme, seperti para siswa Lemhannas (misalnya dan insyaallah) tentu akan menghasilkan simpulan yang terbaik bagi NKRI.

Postingan yang Menghebohkan

Dua postingan di atas memang menghebohkan. Bila tidak teliti, seolah-olah merupakan reaksi dari kemenangan Anies-Sandi. Padahal kurun waktu berbeda sehingga perlu diluruskan. Postingan yang berjudul “Pengusaha China: Kalau Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami Lengserkan” ditulis pada November 2016.

Tulisan ini dilatarbelakangi berita di salah satu website dengan judul “Ahok terima 12 T, Mega 10T” yang ditulis pada 17 Oktober 2016. Jadi berita ini patut diduga berkaitan dengan informasi kepentingan pilkada.

Adapun “Pengusaha China: Kalau Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami Lengserkan” ditulis pada 28 April 2016, jauh sebelum pilkada. Berisi keterangan Pamono Anung mengenai petunjuk Presiden Jokowi tentang Giant Garuda Project dan reklamasi 17 pulau untuk diselesaikan Bapenas. Pramono memberikan keterangan pada 27 April 2006. Dengan demikian juga tidak terkait dengan kemenangan Anies-Sandi.

Menguji Reklamasi

Proyek reklamasi mencuat setelah ada kasus suap dalam pembahasan raperda terkait reklamasi di DPRD DKI. Reklamasi itu sendiri awalnya konsep membuat 17 pulau di Teluk Jakarta, jauh sebelum Bang Yos gubernurnya. Perkembangan lebih jauh, era Gubernur Fauzi Bowo menjadi megaproyek yang disebut Giant Sea Wall  atau GSW.

Proyek ini sempat menjadi bahan paparan visi misi di Pilkada 2012. Selanjutnya berkembang dengan nama National Capital Intergreted Coastal Development atau NCICD.

Pramono Anung pada 27 April 2016 menyampaikan petunjuk Presiden antara lain (1) tidak ada artinya jika tidak ada manfaat untuk rakyat utamanya nelayan, (2) tidak merusak lingkungan hidup, (3) tidak melanggar aturan perundang-undangan, (4) sinkronisasi di semua lembaga agar tidak terjadi persolan hukum, (5) ketahanan dalam penyediaan air bersih dan air minum serta pengolahan air limbah.

Dikatakan bahwa proyek NCICD sebagai proyek raksasa untuk membentengi Jakarta dari banjir rob dan penyediaan air baku dari pengolahan air laut. Presiden juga menceritakan kunjungannya ke Belanda, melihat pengelolaan air, water supplly, sanitasi dan lain-lain. Sebelumnya pernah diberitakan bahwa reklamasi juga untuk mengatasi banjir dan land subsidence atau penurunan tanah di Jakarta.

Dari lima petunjuk Presiden, belum ada petunjuk agar NCICD dikaji secara komprehensif dengan pendekatan semua aspek kehidupan manusia demi terjaganya ketahanan nasional. Sesungguhnya secara teknis NCICD tidak ada korelasinya untuk mengatasi banjir Jakarta akibat air dari hulu.

Air dari hulu bisa diatasi dengan pembuatan waduk atau embung di hulu. Wacana ini selalu muncul dan seakan-akan serius ditangani ketika terjadi banjir bandang di Jakarta. Namun hal itu berujung gembos bak tong kosong diterpa hiruk-pikuk pilpres dan pilkada.

Reklamasi juga bukan untuk mengatasi turunnya muka tanah. Permukaan tanah turun disebabkan antara lain pengambilan air tanah dalam secara berlebihan dan tidak terkontrol. Di samping itu juga dari beban di atas permukaan tanah.

Sesungguhnya jika ada waduk atau embung dan melihat banyaknya sungai dari hulu, kebutuhan air baku bisa dipasok tanpa harus memakai cara mengolah air laut yang biayanya sangat mahal.

Banjir rob Jakarta dapat diatasi melalui rekonstruksi dengan meninggikan, memperkuat, dan merangkai tanggul di pantai Jakarta bagian utara yang saat ini sudah ada. Bagian daratan Jakarta Utara mulai bagian timur ke arah barat tidak seluruhnya terancam banjir rob.
Namun dapat dibuat konstruksi untuk mengamankan sepanjang pantai utara. Rekonstruksi tanggul yang sudah ada jelas lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan membuat tanggul raksasa NCICD.

Tanggul konsep NCICD walaupun indah membentuk burung garuda, ada penilaian miring: Giant Sea Wall menjadi pelindung 17 pulau reklamasi dengan hunian ekskusif. Dengan diizinkannya asing boleh memiliki properti dan adanya penawaran di luar negeri seperti RRC, hal itu memperkuat rasa khawatir.

Tanggul tersebut memang dirancang terkait dengan penyediaan air baku juga, tetapi pertanyaan kritisnya, apakah efektif dan efisien dikaitkan dengan ketersediaan air di daratan yang berlimpah dan mahalnya pengolahan air laut menjadi air baku?

Sebaiknya para pakar dan pemangku kepentingan menyandingkan Indonesia tidak dengan negara-negara yang tidak luas daratannya, penduduknya sudah berjubel, tidak memiliki sungai atau sumber air yang berlimpah, tidak memiliki hutan dan gunung serta sumber kekayaan alam lainnya.

Sebaiknya Indonesia tidak perlu latah dengan konsep reklamasi sebagaimana negara-negara yang daratan dan penduduknya tidak imbang. Apa yang dibuat di Dubai, Belanda, dan negara lain belum tentu pas sebagai kebijakan negara Indonesia.

Indonesia tidak perlu latah membangun pulau atau kota megah kaliber di dunia, tetapi kawasan pedalamannya kumuh dan rakyat penuh penderitaan. Membangun kawasan atau kota eksklusif, dihuni dan dimiliki sebagian besar orang asing, membahayakan aspek ketahanan nasional.

Kasus penyelundupan narkoba di kawasan elite dan eksklusif di Pantai Indah Kapuk salah satu contoh nyata. Eksklusivisme kawasan akan memperpanjang kesenjangan sosial yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal-hal semacam inilah yang mesti juga menjadi pertimbangan.

Rekomendasi

Dengan terpilihnya Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada DKI 2017, diharapkan masalah reklamasi menjadi jelas sesuai dengan aturan perundang-undangan dan kepentingan nasional aspek ketahanan nasional. Anies-Sandi yang akan menghentikan reklamasi hendaknya bukan karena dendam politik.

Sebaliknya jika keputusannya melanjutkan, juga bukan karena kebutuhan politiknya. Keputusan yang diambil harus sebagai hasil kajian yang komprehensif, profesional, dan bisa dipertanggungjawabkan. Keputusan PTUN yang menghentikan reklamasi bisa sebagai dasar.

Proyek NCICD sebagai proyek raksasa dengan nilai ratusan triliun rupiah tidak dikaji dari kemanfaatan untuk rakyat dan lingkungan hidup semata, tetapi harus dikaji secara komprehensif demi ketahanan nasional. Artinya harus dikaji dari seluruh aspek kehidupan manusia, astagatra, tanpa tekanan politik. Hasil kajian harus digunakan sebagai keputusan pemerintah daerah dan pusat, lanjut atau tidak proyek NCICD yang terdiri atas reklamasi 17 pulau dan Giant Garuda Project?

Apabila hasil kajian menyatakan hasil reklamasi yang akan dijadikan kawasan elite dan eksklusif membahayakan ketahanan nasional Indonesia, reklamasi harus dihentikan.
Persoalan yang mungkin timbul, bagaimana proyek reklamasi yang sudah berjalan dan merupakan proyek swasta tersebut?

Bagaimana pemanfaatan daratan yang sudah terbentuk? Tentu bukan hal yang sulit selama semua pihak menyingkirkan kepentingan pribadi dan politiknya serta berpegang pada hasil kajian bahwa proyek mengganggu dan membahayakan ketahanan nasional.

Ada satu alternatif, pemerintah bisa memanfaatkan daratan yang sudah terwujud untuk dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan dengan segala pendukung kebutuhan sosialnya. Alternatif ini untuk mengurangi beban Jakarta.

Seperti diketahui, Jakarta saat ini sudah melebihi kemampuan daya dukungnya. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perekonomian dan perdagangan serta kegiatan sosial budaya perlu diurai.

Sekali lagi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama melakukan kajian yang serius dan komprehensif dengan meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan serta tidak memaksakan kehendak, demi ketahanan nasional.

Semoga Anies-Sandi selaku gubernur kepala daerah dan wakil gubernur memiliki kejujuran dalam pengabdiannya dan memegang teguh komitmennya. Dengan kejujuran itulah akan tumbuh sikap menjunjung tinggi dan membela kebenaran dan keadilan. Insyaallah, amin. (Prijanto/Wakil Gubernur DKI 2007-2012)

Anies-Sandi vs Reklamasi Teluk Jakarta
To Top