Topik Nusantara

Ketupat, Macet, Mudik Dan Uang Jadi Tradisi Saat Lebaran

Selain ketupat dan macet, mudik dan Lebaran juga menyisakan cerita soal peredaran uang yang luar biasa besar.

topikindo.com – Seru dan menarik kala menelisik kata mudik. Sebab, tak ada catatan pasti ihwal awal mula dari kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “pulang ke kampung halaman”. Kata ini lalu tak lepas dari Ramadan dan Idulfitri.

Mudik memiliki makna sebuah ritual tahunan yang tak pernah terlewatkan jelang Lebaran. Dalam rubrik Bahasa Majalah Tempo, edisi 7 Desember 2015, disebutkan kata mudik sudah menjadi kata dasar. Kata itu dicomot dari kata “udik” yang berasal dari istilah warga Betawi terhadap daerah di luar Jakarta. Bisa jadi lantaran Jakarta sebagai Ibu Kota terlalu identik dengan perantauan.

Arti sebenarnya kata “mudik” adalah selatan, berlawanan dengan “ilir” (utara) atau “hilir” yang menjadi muara sungai. Itu karena laut adanya di utara Jakarta. Mungkin karena daerah selatan Jakarta dulu adalah perkampungan. “Mengudik” pelan-pelan meluluh menjadi “mudik”.

Dalam rubrik yang sama dalam edisi berbeda, masih dari Majalah Tempo edisi 6 Juli 2015, mudik dikatakan sebagai kata yang mengalami peningkatan martabat. Sejak menjadi sebutan untuk tradisi eksodus tahunan menyambut Lebaran, kata ini makin jauh dari makna asalinya, yakni “mengudik” atau menuju udik.

Gejala bentukan kata “mudik” ini mirip dengan kata “mundur”, yang berasal dari “undur” tapi kemudian mandiri menjadi kata dasar sendiri. Bahasa, menurut penulis rubrik, memang kerap harus tunduk kepada kebiasaan para pemakainya.

Berdasar penelusuran, kata mudik sudah tercantum dan dikenal serta masuk ke dalam kamus sejak medio 1970-an. Buktinya, mudik sudah dapat ditemukan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S Poerwadarmita cetakan 1976. Itu artinya, kata mudik sudah populer dan digunakan khalayak sebelum kamus itu terbit.

Mengapa membahas kata mudik menjadi penting? Belakangan hari Jakarta sepi. Jutaan warganya mendadak pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran. Kementerian Perhubungan memperkirakan, jumlah pemudik tahun ini naik menjadi 17.698.484 orang. Tahun lalu, jumlahnya 17.404.575 orang.

Pekan lalu adalah pekan yang sibuk bagi warga ibu kota. Apa kegiatan yang paling menonjol? Belanja. Nyaris di setiap mal dan pusat perbelanjaan seperti kawasan dagang Tanah Abang disemuti warga yang berbelanja. Mereka rela berdesakan bahkan hingga berebutan. Perputaran uang kartal lantas menderas seiring membumbungnya angka transaksi belanja warga.

Bank Indonesia memperkirakan jelang Hari Raya Lebaran tahun ini jumlah penarikan uang akan meningkat dibanding tahun lalu. Diperkirakan, penarikan akan mencapai Rp160,4 triliun atau meningkat 14,5 persen. Seberapa banyakkah itu? Kurang lebih seperlima nilai 30 proyek infrastruktur prioritas (Rp851 triliun). Di antaranya untuk membangun jalan tol, jalan kereta, pembangkit tenaga listrik.

Perkiraan jumlah penarikan uang dari BI itu jelas akan menambah jumlah perputaran, juga peredaran uang kartal di masyarakat. Data BI hingga Desember tahun lalu menyatakan ada Rp586,8 triliun uang kartal yang beredar di masyarakat.

Pada masa apa saja kenaikan jumlah uang kartal yang beredar itu terjadi? Data lima tahun ke belakang yang berhasil dikorek dari laci Bank Indonesia bisa berkesimpulan, Ramadan dan Lebaran selalu menjadi masa perputaran uang tertinggi tiap tahunnya. Perputaran uang kartal menderas seiring membumbungnya angka transaksi belanja warga.

Apa yang sebenarnya terlihat dalam data, merupakan jawaban atas anggapan dasar yang menyebutkan bahwa momentum puasa dan Lebaran merupakan titik puncak perputaran uang di Indonesia.

Misalnya pada awal 2011 lalu, duit kartal yang beredar mencapai Rp303,2 triliun. Puncaknya pada Agustus 2011 dengan jumlah uang kartal beredar senilai Rp391,9 triliun. Apabila diingat, masa Agustus 2011 bertepatan dengan momen Ramadan dan Lebaran.

Temuan yang sama terjadi pada tahun berikutnya. Kala Lebaran 2012 yang jatuh pada Agustus, menjadi bulan dengan jumlah peredaran uang kartal tertinggi di Indonesia saat itu. Jumlahnya mencapai Rp405 triliun.

Apabila diperhatikan dalam tabel, jumlah uang yang beredar dari tahun ke tahun terus bertambah. Jumlah uang kartal beredar mencapai puncak tertinggi dalam lima tahun terakhir minus perhitungan tahun ini, jatuh pada Juli 2014. Menariknya, Juli 2014 merupakan momentum Lebaran pada tahun itu. Nilainya mencapai Rp564,5 triliun.

Jumlah uang kartal yang beredar dan meningkat pada masa lebaran setiap tahunnya tak lepas dari peran Bank Sentral. Tujuannya satu pengendalian harga. Sebab pertumbuhan uang kartal yang tinggi berkorelasi dengan tingkat inflasi yang tinggi pula.

Apabila mencermati dua tabel yang disajikan, jelas ada keterikatan antara jumlah uang kartal yang beredar dengan tingkat inflasi untuk sandang, pangan atau sektor ekonomi lainnya saat itu. Salah satu pengikatnya adalah waktu: Ramadan dan Lebaran.

Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian.

Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta. Begitu teori kuantitas uang berbunyi.

Maka, tak salah jika berkesimpulan bahwa uang akan selalu bertaburan kala Lebaran.

Terik matahari terasa seolah mencubit kulit pada pertengahan pekan lalu. Namun, hawa gerah yang bikin tak betah itu tak diindahkan oleh sekelompok ibu yang berdiri berjejer di pinggiran jalan kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan.

Dari tangan para ibu itu teracung gepokan uang kertas baru. Ditawarkan untuk ditukarkan dengan pecahan lain yang lebih besar nilainya. Pemandangan ini, di ruas jalan yang sama, tak pernah berubah dari tahun ke tahun.

Penawaran jasa tukaran pecahan jelang lebaran menjadi hal yang tak pernah terhapuskan. “Favoritnya Goceng ama Ceban,” ujar Erni, seorang ibu yang penawar jasa penukaran. Goceng mewakili istilah untuk pecahan lima ribu rupiah sedangkan Ceban merupakan istilah untuk uang 10 ribu rupiah yang sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Lantas untuk apa pecahan Goceng dan Ceban itu? Angpau. Istilah serapan yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti hadiah atau pemberian uang. Biasanya itu diberikan pada hari besar keagamaan, dahulu hanya dilekatkan pada perayaan Imlek bagi warga Tionghoa, kini Angpau juga dipakai untuk istilah hadiah lebaran.

Tahun ini, Bank Indonesia menyiapkan pasokan uang tunai tak kurang dari Rp160 triliun. Sebanyak 80 persen dari uang yang disiapkan BI akan berupa pecahan besar, sedangkan pecahan kecil 20 ribu ke bawah itu 20 persennya. Jumlah itu meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar Rp124 triliun.

Pasokan uang tunai tersebut sudah didistribusikan ke Kantor Perwakilan Bank Sentral di berbagai wilayah. Rinciannya, 28 persen didistribusikan di DKI Jakarta dan 33 persen dikirim ke berbagai wilayah Pulau Jawa, Sumatera 20 persen, Kalimantan 7 persen sisanya wilayah timur Indonesia.

Selain pasokan uang tunai, BI juga meningkatkan jumlah layanan penukaran uang yang biasanya dibutuhkan masyarakat menjelang Lebaran. Pada 2016 ini, Bank Sentral bekerja sama dengan 20 bank, meningkat dibanding 2015 yang 13 bank. Titik sebaran penukaran uang pun ditambah menjadi 200 titik dari 80 titik pada 2015.

Hitungan BI, warga Jabodetabek akan menghabiskan uang Lebaran Rp41,5 triliun atau setara 25,56 persen dari total kebutuhan nasional.

Peringkat berikutnya ditempati Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang memerlukan dana Lebaran senilai Rp21,2 triliun. Sementara Lebaran di Jawa Timur menyerap Rp19,9 triliun.

Sedangkan, kebutuhan uang Lebaran terendah yakni di Bali dan Nusa Tenggara yang hanya senilai Rp6,6 triliun.

Dari data yang diperoleh dari Bank Indonesia terlihat angka peredaran setiap pecahan rupiah yang dikeluarkan Bank Sentral selama lima tahun terakhir. Data peredaran lantas dikorelasikan dengan waktu edarnya. Hasilnya? Pada setiap kesempatan puasa dan lebaran, kerap terjadi peningkatan peredaran uang ditambah lagi ada data yang menunjukkan pecahan Goceng dan Ceban jadi incaran.

Peredaran duit Goceng pada kesempatan lebaran selama lima tahun terakhir kerap menjadi pecahan favorit bagi para pembagi angpau. Bahkan peningkatan perederannya pernah mencapai 40 persen dari bulan sebelumnya. itu terjadi saat lebaran jatuh pada Juli 2013.

Data lain lantas menunjukkan soal pecahan Goceng yang tak pernah lepas dari tahun ke tahun sebagai pecahan pilihan diantara enam pecahan rupiah. Mulai dari pecahan Rp1000 hingga Rp100 ribu. Pecahan lima ribu rupiah hanya satu kali peredarannya di bawah kebiasaan, yakni pada Agustus 2011.

Transaksi Elektronik vs Uang Palsu

Berkembangnya teknologi menggeser transaksi dari cara yang tradisional ke cara yang lebih mutakhir: transaksi elektronik. Mulai dari kartu kredit, transaksi berjalan, hingga proses perbankan via internet atau kombinasi dari ketiganya.

Dari data terlihat transaksi elektronik memiliki pola yang sama dengan konvensional, meningkat pada saat jelang lebaran juga pada saat lebaran. Pada setiap tahunnya, lonjakan grafik nilai transaksi kerap terjadi pada waktu yang seragam, yakni puasa dan lebaran juga.

Pada Juli tahun lalu, transaksi elektronik mencapai puncak nilainya. Sebanyak Rp663,7 miliar pada saat bulan puasa dan Rp665,8 miliar jelang lebaran. Dahsyatnya angka itu meningkat dua kali lipat dari beberapa tahun sebelumnya.

Menanjaknya transaksi non tunai tahun ini tak lepas dari sebuah ancaman klasik jelang hari besar keagamaan, yakni peredaran uang palsu. Dalam lima tahun terakhir, jumlah temuan uang kertas rupiah palsu terbanyak terjadi tahun 2010, yaitu 204.450 lembar. Selama dua tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah temuan,tetapi meningkat lagi pada 2013 menjadi 141.266 lembar.

Pada 2014 jumlah uang saku palsu yang beredar mencapai 9 lembar dari 1 juta lembar uang beredar. Tahun 2015 meningkat menjadi 21 lembar uang palsu dari 1 juta uang yang beredar. Tahun ini per bulan Mei tercatat 5 lembar uang palsu per 1 juta lembar uang beredar.

Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling banyak ditemukan uang kertas rupiah palsu, terutama di DKI Jakarta sebagai wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia (50 persen) dan Jawa Timur (16,2 persen). Jawa menjadi pusat peredaran uang palsu tidak lepas dari keberadaannya sebagai pusat kegiatan ekonomi yang menyedot sebagian besar perputaran uang.

Petang lantas merembang di jalanan Pondok Indah Jakarta Selatan. Erni dan grup ibu penawar jasa penukaran uang segera berkemas menuju pulang. Sesekali Erni masih saja mengacungkan uang baru pecahan lima ribu. “Awas uang palsu, yang ini saja pecahan lima ribu!” serunya kepada pelanggan yang hilir mudik di hadapan.

Ketupat, Macet, Mudik Dan Uang Jadi Tradisi Saat Lebaran
To Top