Topik Nusantara

Kriminalisasi Ulama, Apa yang Sesungguhnya Terjadi?

Kepolisian mengaku serius menanggapi pengaduan-pengaduan yang diarahkan kepada pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan menepis tudingan adanya “kriminalisasi ulama”.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan pihaknya hanya menjalankan tugas dengan menindaklanjuti laporan masyarakat.

“Kita tidak mengkriminalkan, tapi kita memproses sesuai laporan … kalau kita tidak tindaklanjuti kan keliru,” katanya ketika ditemui saat pemeriksaan Rizieq Shihab di markas Polda Metro Jaya, Senin (23/01).

Rizieq diperiksa Mapolda Metro Jaya terkait ucapannya bahwa rectoverso logo Bank Indonesia di uang kertas baru tampak seperti palu arit, yang ia persepsikan sebagai lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemeriksaan Rizieq diramaikan aksi massa dari sejumlah ormas; antara lain FPI, Forum Betawi Rempug, dan Forum Umat Islam. Sebagian dari mereka mengaku berada di sana untuk “membela ulama”, walaupun polisi sejauh ini baru menangani Rizieq Shihab.

“Kalau setiap persoalan kecil kemudian saya dilaporkan di mana-mana, tentunya persepsi masyarakat ada kriminalisasi ulama, ada kriminalisasi tokoh, ada kriminalisasi habaib. Akhirnya timbul kesan di tengah masyarakat: andaikata saya menginjak seekor semut, niscaya semut akan digiring untuk melaporkan saya,” kata Rizieq Shihab kepada wartawan.

Titik balik

Pengamat masalah Islam, Novriantoni Kahar, berpendapat pemeriksaan polisi terhadap Rizieq Shihab bukan bentuk kriminalisasi ulama atau upaya meredam FPI, namun karena polisi memang berkewajiban “menindaklanjuti aduan-aduan jika mereka melihat itu masuk akal”.

Adapun bermunculannya laporan terkait Rizieq Shihab, menurut Novriantoni, merupakan respons sejumlah elemen masyarakat terhadap tindakan pengerahan massa yang ia lakukan bersama FPI selama ini.

“Sering kali sesuatu yang nonkasus pada hakikatnya, kemudian dikasuskan. Misalnya pembicaraan Gubernur Ahok di Pulau Seribu, kalau dilihat secara saksama, sebetulnya kan jelas bahwa itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan (penistaan agama); tapi kemudian direkayasa sedemikian rupa sampai ratusan ribu umat berdemonstrasi di Jakarta. Ini kan murni mobokrasi, demokrasi berdasarkan tekanan massa,” tuturnya.

Novriantoni, yang juga seorang dosen di Universitas Paramadina, memandang saat ini ada semacam “titik balik” saat masyarakat merasa resah dengan cara demikian, sehingga muncul gerakan dari masyarakat sendiri untuk melaporkan balik Rizieq Shihab yang mereka anggap bisa merekayasa apa saja.

“Nah sekarang kita lihat, dia yang juga punya banyak kasus dengan bukti-bukti yang sangat jelas, bisa dikutip dari pidatonya, ceramahnya, orasinya yang bersifat agitatif … tentu masyarakat juga berhak untuk melaporkan itu.”

Belakangan ini, Rizieq memang telah dilaporkan ke polisi beberapa kali terkait ucapannya. Dua pekan lalu, ia diperiksa Polda Jabar sebagai terlapor kasus dugaan penistaan Pancasila oleh Sukmawati Sukarnoputri. Laporan itu dilatarbelakangi pernyataan Rizieq dalam sebuah video ceramahnya di Jawa Barat yang beredar dua tahun lalu.

Dan di penghujung 2016, ia dilaporkan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) atas tuduhan menistakan agama Kristen lewat pidatonya dalam salah satu acara di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Laporan semacam ini bermunculan setelah Rizieq Shihab disebut memotori demonstrasi terkait tuduhan penistaan agama oleh Basuki Thahaja Poernama alias Ahok.

Ketidakjelasan pidana

Diwawancarai secara terpisah, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Ardery Ardhan, mengatakan rentetan aksi saling lapor ini berakar dari ketidakjelasan definisi tindak pidana terkait ujaran.

“Kelemahannya adalah sekarang di pengaturan pasal kita bagaimana kita mendudukkan secara jelas mana bentuk penghinaan, mana yang merupakan argumen, mana yang pendapat … bagaimana kebebasan berpendapat didudukkan bersamaan dengan hal-hal itu.

Dan bahkan kalau terjadi hal seperti ini (penghinaan) apakah ini masuk ranah keperdataan ataukah masuk pemidanaan, harus dipenjara?” kata Ardery.

Aturan yang kerap dijadikan dasar laporan penghinaan, yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik, memang sering disebut sebagai “pasal karet”, dengan kelompok penguasa paling sering menggunakan instrumen ini, menurut catatan Safenet.

Sedangkan aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP, juga dianggap multitafsir dan cenderung diskriminatif oleh para pegiat keragaman.

Dengan ketidakjelasan aturan ini, Ardery menambahkan, aksi ‘saling lapor’ akan terus terjadi, apapun isunya. “Misalnya beberapa tahun lagi ada pemilihan presiden, bisa saja sahut-sahutan begini lagi,” pungkasnya.

Juru bicara Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan Rizieq diperiksa pada Senin (23/01) dalam status sebagai saksi. Ia dicecar 23 pertanyaan oleh tim penyidik seputar pengetahuannya tentang PKI, logo pada pecahan uang rupiah yang dianggap mirip palu arit, serta isi pidatonya tentang logo tersebut.

Rizieq berargumen bahwa ada banyak alternatif untuk rectoverso pengaman uang kertas, selain apa yang disebutnya mirip palu arit. Ia meminta pemerintah memberikan keterangan tentang pilihan logo itu dan menarik kembali uang kertas baru yang memuat logo tersebut.

Kriminalisasi Ulama, Apa yang Sesungguhnya Terjadi?
To Top