Topik Nusantara

Masih Adakah Solusi Untuk Cegah Korupsi ?

Syekh Ihsab Ali Abd al-Husain dalam bukunya yang berjudul an-Nahj al-Islami fi Mukafahat ar-Risywah, sulit mengakar di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Ini karena Islam adalah agama yang antikorupsi.

Larangan berikut sanksi tegas ditujukan bagi para koruptor. Agama melarang umatnya mengambil segala sesuatu, apalagi harta yang bukan miliknya sendiri. Ada banyak dalil yang menegaskan larangan korupsi.

“Dan, janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu me ngetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 188).

Pada hadis riwayat Ahmad Rasulullah SAW mengatakan pa ra penyuap, penerima, dan perantara suap mendapat laknat Allah SWT. Di akhirat jelas koruptor akan mendapatkan siksa. Di du nia sebagian ahli fi kih bahkan membolehkan penerapan hukum had berupa tangan atau kaki secara menyilang bagi penggelap uang negara.

Menurut Syekh Ihsab, ko rupsi muncul oleh faktor in ternal dan eksternal. Dari internal pelaku korupsi tindakan melawan hukum itu timbul akibat lemahnya iman. Iman yang kuat niscaya akan membentengi seseorang da ri tindak maksiat apa pun, tak terkecuali korupsi.

Faktor eksternal, antara lain, rezim yang korup. Lingkaran biro krasi yang korup akan memantik keinginan korupsi. Bila atasan korup maka berpotensi memancing aksi serupa da ri bawahan. Rendahnya kesejah teraan juga disinyalir menjadi biang korupsi, lemahnya pengawasan, dan rumitnya birokrasi.

Ia pun menguraikan sejumlah solusi mencegah terjadinya korupsi. Langkah pertama, yakni peran serta tokoh masyarakat dan agamawan untuk mendorong kesadaran segenap lapisan supaya menjauhi praktik korupsi. Bila kesadaran individu muncul, akan memicu kontrol kolektif di lingkaran birokrasi. Mereka yang sadar akan memahami betul bahwa tiap tingkah laku dan gerak-geriknya selalu mendapat pengawasan dari-Nya.

Kedua, peningkatan kesejahtaraan pegawai. Tingginya kebu tuhan pegawai kerap tak seban ding dengan besaran gaji yang diterima. Berawal dari ke terdesakan, lalu perlahan terbiasa dan menganggap remeh. Da lam hal ini, bila terkait pega wai negeri sipil (PNS) ma ka negaralah yang berkewajiban mencukupi dan meningkatkan kesejahteraan tersebut.

Bila karyawan swasta, kewa jib an ditanggung oleh perusahaan tempatnya bernaung. Arahan serupa pernah di sampaikan Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar yang dipercaya memimpin Mesir. Ali menginstruksikan agar Malik mencukupi gaji para pegawai.

Ini untuk memperkuat mentalitas mereka sekaligus mencegah abdi negara tersebut mengambil di luar hak mereka. Pencukupan gaji ini pula sebagai kontrak profesionalisme bila mereka abai terhadap amanat.

Lalu, pilihlah pegawai yang berkompeten dan berdedikasi tinggi serta berintegritas. Pegawai yang tak berkompeten cenderung menyalahgunakan jabatan. Ini tak bisa dibenarkan. Islam mengajarkan agar memprioritaskan pegawai yang unggul. “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (kepada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]:26).

Selanjutnya, perketat pengawasan. Kontrol berkala dan me nye luruh terhadap kinerja pegawai dan adiministrasi penting dilaksanakan dengan ketat. Ini untuk mempersempit ruang gerak koruptor. Pengawasan yang sama dicontohkan Rasulullah SAW. Rasul tak pernah melewatkan untuk mengawasi para pemegang kebijakan.

Pentingnya pengawasan ini juga mengilhami Ali bin Abi Tha lib. Masih dalam surat yang ditulis untuk Malik, menantu Rasulullah dan suami Fatimah tersebut memerintahkan agar Malik mengawasi para pegawai. Bila diperlukan, tunjuk sejum lah perwakilan dari orang jujur dan tepercaya untuk mengemban tugas pengawasan. Tak lu pa, beri sanksi yang tegas dan disesuaikan dengan tingkat kejahatan dan besaran kerugian yang diakibatkan. Dan, tentunya hindari birokrasi yang rumit.

Masih Adakah Solusi Untuk Cegah Korupsi ?
To Top