Topik Politik

Pilkada 2017 Jadi Medan Perang Para Buzzer di Dunia Maya

Jumlah pengguna internet yang cukup tinggi di Indonesia menjadikan media sosial sebagai ruang publik yang penting dalam berbagai aktivitas politik. Ini juga berlaku di kancah Pilkada DKI Jakarta 2017.

Kemampuan tiga pasangan calon dalam menggalang opini di dunia maya, diyakini sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam meraih suara terbanyak saat hari pencoblosan.

Tak dipungkiri lagi, di era digital, ketiga pasangan calon yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta mau tak mau juga harus bertarung di dunia maya. Sedemikian penting pertarungan di dunia maya itu sehingga masing-masing pasangan calon membentuk tim yang khusus beroperasi di jagat siber.

Tim kampanye Anies Baswedan-Sandiga Uno, misalnya, mendaftarkan 14 akun media sosial yang akan digunakan selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta.

Jumlah itu adalah yang terbanyak dibandingkan jumlah yang didaftarkan oleh tim kampanye dari pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana.

Namun, terlepas dari jumlah tersebut, ketiga pasangan calon memiliki tujuan yang sama, yakni memengaruhi opini pengguna internet di Jakarta sehingga mampu mengambil suara mereka.

Buzzer menjadi salah satu aktor paling penting dalam penggalangan opini di dunia maya. Belum ada definisi baku untuk kata tersebut. Namun buzzer bisa juga disebut sebagai aktor, baik secara individu maupun kelompok, yang menjalankan fungsi-fungsi pemasaran untuk ‘menjual’ produk mereka.

Tiga Aktor Utama

Pengamat politik dari LIPI, Wasisto Raharjo Jati dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, memilah tiga aktor utama dalam kampanye di dunia maya. Mereka adalah buzzerinfluencer dan follower.

Ketiganya memiliki kapasitas dan peran yang berbeda. Dalam konteks kampanye, buzzer menurut Wasis berperan sebagai otak yang membentuk sebuah wacana tertentu. Influencer adalah sosok yang memiliki pengaruh di dunia maya yang ditandai dengan banyaknya jumlah follower akun mereka.

“Kelompok buzzer ini biasanya sudah organik. Dalam arti bahwa mereka menyatu dalam tim sukses pasangan calon. Bisa jadi mereka adalah kader dari partai tertentu,” kata Wasis yang bergelut dengan kajian politik kelas menengah.

Dalam konteks Pilkada Jakarta, Wasis melihat ada wacana tertentu yang sengaja dibangun oleh tim kampanye pasangan calon di dunia maya. “Jika pada Pilpres 2014 wacana yang dibangun adalah populisme versus otoritarianisme, Jokowi yang populis versus Prabowo yang otoriter, saat ini yang terbangun adalah pemimpin represif (Ahok) versus pemimpin alternatif (Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono),” ujarnya.

Mencuatnya konstruksi wacana lain juga tak lepas dari hasil kerja buzzer dan influencer. Misalnya wacana yang mengidentikkan Ahok sebagai pejabat anti korupsi, atau Anies Baswedan sebagai sosok yang santun dan cerdas, serta Agus Yudhoyono sebagai pemimpin alternatif.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh strategi kampanye atau konstruksi wacana di media sosial, yang digalang para buzzer dan influencer, berhasil memengaruhi opini dan preferensi masyarakat dalam memilih calon mereka? Wasis meyakini, pengaruh itu cukup signifikan.

“Belajar dari Pemilu Presiden 2014, itu efektif. Karena masyarakat hari ini lebih suka mencari informasi dari media sosial. Masyarakat sangat tertarik mencari berita baru, dan sebagian besar mereka bukan kelompok yang terikat ideologi tertentu sehingga keputusannya bersifat dinamis,” ujarnya.

Terkesan Negatif

Sebenarnya, ada banyak strategi pemasaran yang diterapkan para buzzer. Secara umum, strategi itu terbagi dalam dua cara: strategi melalui kampanye negatif dan positif. Hanya saja, pemakaian istilah buzzer di media sosial cenderung diidentikkan dengan penggunaan strategi kampanye negatif sehingga membuat istilah tersebut terkesan negatif.

Akibat kesan tersebut, semua tim sukses pasangan calon menolak disebut menggunakan jasa buzzer dalam menjalankan kampanye di media sosial. Roy Suryo, salah satu anggota tim sukses pasangan Agus-Sylviana terang-terangan membantah menggunakan jasa buzzer. Hal serupa juga diutarakan oleh tim kampanye online pasangan Anies-Sandiaga dan Ahok-Djarot.

“Kami menggunakan relawan. Tidak ada buzzer. Jumlahnya ratusan, tapi kami memiliki pedoman atau semacam etika yang harus dipatuhi para relawan siber. Ada Pakta Integritas yang melarang mereka untuk menggunakan isu SARA,” kata Anthony Leong, Koordinator tim kampanye daring pasangan Anis-Sandiaga.

Klaim masing-masing pasangan itu sebenarnya tidak mencerminkan apa yang terjadi di media sosial saat ini. Sebab, faktanya, hampir setiap hari isu SARA dan kampanye hitam (black campaign) berseliweran baik di Facebook, Twitter, atau di platform media sosial lain.

Tujuan kampanye hitam ini jelas untuk menjatuhkan para pesaing. Para buzzer tampaknya percaya dengan cara memproduksi isu SARA atau tuduhan tak berdasar, mereka dapat menjatuhkan kredibilitas calon tertentu.

Pola pikir seperti itu didasari oleh asumsi bahwa publik, atau mayoritas pengguna internet adalah warga yang pasif dalam menerima informasi. Namun Wasis membantah asumsi itu.

Bermata Dua

Menurutnya, di tengah keberlimpahan informasi di dunia maya, publik tetap aktif mencari kebenaran atas suatu informasi. Hal inilah yang disebut Wasis bisa menjadi ‘pedang bermata dua’ bagi para buzzer dan pasangan calon yang mereka dukung.

Pendapat tersebut memang sangat masuk akal jika merujuk pada apa yang terjadi di Pilpres 2014. Saat itu, Joko Widodo kerap mendapat fitnah bertubi-tubi di dunia maya, mulai dari isu PKI hingga keturunan Tionghoa.

Namun, alih-alih ditinggal oleh pemilih, Joko Widodo justru keluar sebagai pemenang mengalahkan rivalnya Prabowo Subianto. Hal serupa bisa saja terulang di Pilkada Jakarta 2017 meski ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan pasangan calon.

Belajar dari pengalaman itu, Wasis menyebut upaya menjatuhkan pasangan calon lewat kampanye hitam sebagai sebuah strategi yang berisiko. Ibarat dua bilah mata pedang. Strategi itu bisa saja berbuah positif mendongkrak perolehan suara pasangan calon tertentu. Namun, di sisi lain, bisa menjadi senjata yang membunuh tuannya sendiri.

Pilkada 2017 Jadi Medan Perang Para Buzzer di Dunia Maya
To Top