Topik Nusantara

Ribut Elite Politik, Kasus Penyadapan Bikin Gaduh Panggung Politik

PENYADAPAN ilegal punya konsekuensi hukum yang berat. Ancaman hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda maksimal Rp 800 juta sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tapi, track record kasus dugaan penyadapan ilegal selama ini belum ada yang sampai ruang pengadilan. Meski, intersepsi itu bukan delik aduan.

Isu penyadapan selama ini hanya heboh sebentar lantas menghilang tanpa penanganan hukum yang jelas. Sebut saja kasus dugaan penyadapan yang diderita oleh Joko Widodo yang menjabat gubernur DKI Jakarta pada akhir 2013. Kasus yang diungkapkan pertama kali oleh Tjahjo Kumolo yang saat itu menjabat Sekjen PDI Perjuangan itu berakhir dengan simpang siur.

Pada saat itu, banyak pula politikus yang menganggap isu penyadapan terhadap Jokowi itu bagian dari meningkatkan citra dia. Jokowi menanggapi santai dan tidak berniat melaporkan temuan tiga alat sadap di rumah dinas gubernur DKI Jakarta itu. Penegak hukum pun tidak menanggapi serius kasus tersebut.

Yang juga heboh adalah kasus Papa Minta Saham pada November 2015. Kasus itu muncul dari laporan Sudirman Said yang menjabat Menteri ESDM saat itu melaporkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Bukti yang dibawa adalah transkrip percakapan, yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, minta saham PT Freeport Indonesia.

Kasus tersebut lebih banyak bergulir di panggung politik yang membuat Setnov mengundurkan diri. Tapi, dia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi tentang rekaman ilegal tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti. Singkat cerita, gugatan Setnov dikabulkan.

Setnov pun kini kembali menduduki kursi ketua DPR. Bagaimana dengan dugaan perekaman yang ilegal yang muncul dalam perkara tersebut? Tidak mendapatkan perhatian.

Saat kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengungkapkan punya bukti percakapan antara mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dalam persidangan ke-8, Selasa (31/1), dugaan penyadapan muncul. Sebab, pengacara menyebutkan jam dengan detail menit, yakni pukul 10.16 WIB.

Isi pembicaraan pun disebutkan dua hal; permintaan agar pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni diterima di Kantor PBNU dan permintaan agar MUI segera mengeluarkan fatwa terhadap penistaan agama. Isi yang detail itu memperkuat dugaan.

Setelah SBY menggelar jumpa pers dan mendesak pengusutan dugaan penyadapan itu pada Selasa (1/2), hingga kemarin (5/2) belum ada langkah signifikan dari kepolisian. Penegak hukum berdalih masih mencermati kasus tersebut.

Pengamat Hukum Margarito Kamis menuturkan, selama ini memang ada kesan kasus penyadapan itu tidak pernah tuntas diusut. Meskipun ancaman hukumannya termasuk cukup berat dengan penjara maksimal 10 tahun. “Dulu Jokowi juga pernah disadap. Tapi (kasus penyadapan ilegal) dibiarkan, sekarang muncul lagi,” ujar dia kemarin.

Polisi bisa berangkat dari pernyataan kuasa hukum yang memiliki bukti saat persidangan. Mereka bisa memeriksa kuasa hukum Ahok dan menanyakan bukti-bukti yang dimiliki itu. Bila bukti tersebut adalah transkrip percakapan, patut diduga itu adalah hasil sadapan yang ilegal.

“Polisi tidak punya alasan sedikit pun untuk tidak mengusut. Ini bukan delik aduan, ancaman hukumannya signifikan,” tambah pria kelahiran Ternate itu.

Jangan sampai masyarakat menilai polisi atau penegak hukum gamang dalam pengusutan dugaan intersepsi itu. Lantas memunculkan persepsi dugaan intervensi dalam pengusutan kasus hukum. “Kalau menunggu lama, cukup alasan untuk dianggap ada backup politik,” ujar dia.

Dia mengingatkan pula kasus intersepsi itu adalah masalah yang serius. Di Amerika Serikat pernah ada skandal Watergate yang membuat Presiden Richard Nixon mengundurkan diri karena diduga menyadap lawan politiknya. Maka, Margarito pun mendorong kasus tersebut diangkat menjadi hak angket di DPR yang sekarang digulirkan. “Kali ini saya berharap DPR tegas terhadap orang-orang kepala batu,” jelas dia.

Peneliti senior LIPI bidang politik Siti Zuhro menuturkan, penggunaan hak angket dan hak-hak lain oleh DPR untuk mendalami dugaan kasus penyuapan itu merupakan hal yang wajar.

Tapi, dia menuturkan, akan lebih baik hak angket itu ditujukan untuk peningkatan kualitas penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Bukan secara parsial membahas satu hal saja. “Ada banyak isu soal dugaan makar dan isu penyadapan. Itu bisa masuk pembangunan kualitas hukum,” ujar dia.

Kasus dugaan penyadapan itu memang perkara hukum. Tapi, bisa berimbas pula ke politik. Sebab, bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Khususnya soal privasi warga dalam percakapan via telepon. “Jangan sampai nanti dianggap semrawut penegakan hukum,” tambah dia.

Siti mengungkapkan, penyadapan itu sangat sensitif bagi masyarakat. Sebab, penyadapan itu sama halnya dengan pelanggaran hak asasi manusia untuk punya privasi. “Demokrasi melarang kesewenang-wenangan pelanggaran hak masyarakat,” tambah dia.

Terpisah, kuasa hukum Ahok Tommy Sihotang menuturkan bahwa sejak awal tidak yang mengatakan telah terjadi penyadapan. Justru yang menghebohkan terjadi penyadapan terhadap SBY. Tim kuasa hukum pun membuka opsi untuk menghadirkan SBY dalam persidangan untuk memperjelas duduk perkara kasus tersebut.

Dia menuturkan tidak sulit memanggil SBY ke pengadilan lantaran dia bukan presiden lagi. “Dia (SBY) kan sudah warga negara biasa. Dipanggil hakim harus hadir,” ujar Tommy setelah diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (4/2).

Tommy pun sepakat dengan pembentukan hak angket untuk mengusut dugaan penyadapan tersebut. Tapi, menurut dia, orang pertama yang harus diperiksa adalah SBY. “Pak SBY sebagai orang pertama yang mengatakan ada penyadapan. Mainkan saja angket itu,” tegas Tommy.

Sesuai UU 17/2014 tentang MD3, hak angket itu untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket diusulkan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

Sementara itu, Wakil Ketua Partai Demokrat Roy Suryo menuturkan, saat ini memang sedang ada penggalangan suara untuk mewujudkan penggunaan hak angket itu. Tapi, pengusulan tersebut masih bergulir terus. “Sedang diupayakan terus,” ujar dia.

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu menuturkan, saran dari kuasa hukum Ahok untuk memeriksa SBY di pengadilan itu dianggap salah logika. “Kok, sudah dibalik-balik. Ibaratnya, seorang tertabrak mobil kecelakaan, kok yang diperiksa dulu yang ditabrak. Mestinya yang menabrak, dong,” ujar dia.

Hal yang sama dia ungkapkan menanggapi keinginan untuk memeriksa SBY dalam pelaksanaan hak angket. Menurut Roy yang harus diperiksa adalah kuasa hukum Ahok.

Dia menegaskan bahwa pembicaraan antara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin dan SBY itu dilakukan orang biasa bukan pejabat publik. Pembicaraan privat itu lantas diduga diambil dan dijelaskan dalam persidangan dan tentu dicatat. “Lalu dipergunakan untuk mendesak saksi, KH Ma’ruf Amin,” kata dia.

Ribut Elite Politik, Kasus Penyadapan Bikin Gaduh Panggung Politik
To Top