Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 12

Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 12
Bela Islam Dan Ahok menjadi Issue Of the Year 2016 - Topikindo

Topik Nusantara

Bela Islam Dan Ahok menjadi Issue Of the Year 2016

Posted on


Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 114

Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 114

Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 115

Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 115

Demikianlah kesimpulan riset mendalam yang dilakukan oleh Digitroops, konsultan dan Periset Social Media. Fahd Pahdepie selaku pimpinan dan Anick HT selaku peneliti utama mengumumkannya dalam konferensi pers Kamis 22 Des 2016 hari ini.

Detail sekali frekwensi berita soal isu itu dipaparkan. Menurut Digitroops, Isu Ahok dan Bela Islam tak terlawankan karena ada 279.852.000 entri tentang kasus itu yang muncul di Google Search. Isu itu menjadi viral di Facebook selama 3 bulan. Juga ia menjadi 5. 730 berita. Serta isu itu menjadi trending topic di twitter sebanyak 30 kali.

Mengapa hasil riset ini perlu kita kupas? Dua alasan yang membuatnya penting baik dari sisi metode riset, ataupun substansi isu bagi sehatnya ruang publik.

-000-

Kita menyambut baik hadir konsultan dan periset baru: Digitroops. Ia mengkhususkan diri melakukan survei di dunia social media. Survei konvensional tatap muka sudah lazim dilakukan oleh LSI dan lembaga sejenis. Namun survei yang serius dan mengkhususkan diri pada dunia social media masih sangat kurang.

Padahal social media secara perlahan sudah mengambil alih dominasi berita dari tangan radio dan koran. Kini hanya berita TV konvensional yang masih di atas social media jika dilihat dari jumlah pemirsa/ pembacanya.

Namun jelas pula trend itu. Pemirsa TV konvensional cenderung turun. Pembaca berita dari social media cenderung naik. Dalam 5-10 tahun mendatang, pencari berita di social media segera mendominasi dan mengalahkan TV konvensional. Itu hanya masalah waktu saja.

Lembaga yang melakukan riset khusus di sosial media seperti Digitroops menjadi penanda zaman. Ia anak kandung revolusi internet. Membaca opini publik pada waktunya nanti adalah membaca trending topics di social media.

Memilih “Issue of the Year” secara rutin sangatlah penting. Time Magazine membuat tradisi sejak tahun 1927. Saat itu TIME memilih Charles Lindbergh selaku orang pertama the Man of the Year. Ia seorang pilot dengan teknologi pesawat yang sederhana namun berani dan berhasil menyebrangi lautan nan luas membentang.

Tradisi Man of the Year, yang kemudian berubah menjadi The Person of the Year TIME Magazine sudah berusia 90 tahun. Ia sudah menjadi ikon kultural. Setiap tahun publik dunia menanti siapa yang terpilih.

Digitroops jika berhasil melakukannya secara rutin juga akan membentuk ikon kultural. Sejarah mencatat tahun 2016 menjadi  tahun pertama.  Ahok dan Bela Islam  menjadi  topik pertama yang terpilih sebagai Issue of the Year. Yang belum kita tahu, mampukah Digitroops melakukan rutin pemilihan itu hingga akhirnya puluhan kali?

-000-

Hal lain yang menarik soal substansi isu. Mengapa kasus Ahok dan Bela Islam  menjadi isu paling hot dan paling banyak dibicarakan sepanjang tahun 2016? Apa yang terjadi dengan ruang publik Indonesia? Mengapa Isu Ahok dan Bela Islam lebih sering dibicarakan ketimbang ribuan isu lain yang juga beredar sepanjang tahun 2016?

Isu Ahok dan Bela Islam mengkombinasikan setidaknya empat “drama” dan kontroversi.

Pertama, drama girah agama. Tak bisa dipungkiri, dalam ruang publik Indonesia agama menggores batin publik sangat dalam. Namun kerukunan dan harmoni antar pendukung agama belum sebaik yang digembar-gemborkan.

Sekali tersulut tindakan yang bisa ditafsir menista agama, kesadaran publik segera berubah menjadi rumput kering. Mudah sekali massa dan grass root, bahkan kaum terpelajar langsung mengambil sikap frontal  “kita” versus “mereka.”

Kedua, drama girah agama ini diperkaya pula dengan drama pertarungan kekuasaan di pilkada. Kekuasaan di ibukota, tempat berputarnya 70 persen omzet bisnis, tempat dirumuskannya 70 persen keputusan politik penting, dengan APBD bernilai 70 trilyun rupiah per-tahun tengah diperebutkan.

Ahok dan Bela Islam fungsional mempengaruhi siapa yang kalah dan siapa yang menang. Pertarungan politik, dan manuver untuk menyerang atau mengangkat kandidat bercampur baur dengan girah agama. Isu yang sudah panas semakin terpanggang.

Ketiga, sosial media menjadi lahan yang mudah, murah, cepat dan massif yang mampu membakar isu itu dan mengamplifikasinya. Dalam dunia soc med, praktis siapa saja bisa menulis apa saja dan kapan saja. Ia bisa menulis dengan nama jelas ataupun nama alias.

Secara natural saja, social media punya kemampuan menggoreng dan merebus aneka isu. Apalagi jika dikerahkan pasukan khusus untuk mempopulerkan isu, menyerang, memukul balik, menggaungkannya.

Berita yang memang seksi akan mudah sekali dikunyah dan menyebar. Bahkan di tangan ahli, berita biasapun bisa dikemas menjadi seksi dan trending.

Keempat, civil society, organisasi massa, kumpulan akar rumput ikut pula meramaikan  pro dan kontra isu itu. Di dalam isu Ahok dan Bela Islam tersimpan banyak isu seksi lainnya. Ada isu minoritas agama. Ada isu minoritas etnik. Ada isu keberagaman. Ada pula potensi menjadikan kasus Ahok  pintu melabrak Jokowi.

Ada isu reklamasi. Ada juga  isu penggusuran. Semua jalin menjaln.

Isu Ahok dan Bela Islam segera menjadi sejenis serial telenova, opera sabun, dipenuhi gosip, namun tak kurang sisi strategis politik ekonominya.

Tak heran jika Isu Ahok dan Bela Islam mengalahkan isu lainnya dari sisi frekwensi berita dan durasi pemberitaannya. Ini isu yang pekat emosi dan sarat politik praktis.

-000-

Apa hikmah kasus Ahok dan Bela Islam? Kitapun sadar bahwa publik menganggap gubernur itu bukan sekedar clerk atau pegawai, tapi leader atau pemimpin. Suka atau tidak, itu persepsi mayoritas.

Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, seorang gubernur, bupati, walikota atau presiden, tak cukup sukses membangun fisik kota. Ia juga harus sensitif dengan sisi manusiawi warganya.

Tak cukup ia menjadi city manager yang handal seperti  menyulap sungai kotor  menjadi bersih. Ia juga harus peka dengan keyakinan dan budaya publiknya.

Ahok sangat kuat sebagai city manager. Namun Ahok sangat lemah dan tumpul soal  emosi masyarakat dan cara meresponnya.

Ucapannya yang kasar di publik awalnya menjadi khas dan kekuatannya. Namun melewati batas tertentu, ucapannya yang tak terkontrol itu menjadi lubang yang bisa menguburnya.

Itulah hikmah yang bisa kita pelajari dari terpilihnya Ahok dan Bela Islam selaku Issue of the Year 2016 oleh konsultan dan periset social media: Digitroops.

Topik Popular

Exit mobile version