TopikIndo.com – Tak ada pemilihan gubernur yang seheboh di Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon petahana memberi tamparan kepada partai politik. Sementara dulu dia diusung Partai Gerindra dalam posisi sebagai calon wakil gubernur yang dipasangkan dengan jagoan PDI Perjuangan, Joko Widodo, kini Ahok meninggalkan Gerindra. Ahok sempat berbasa-basi menanyakan kepada PDI Perjuangan apakah akan mendukungnya, mengingat posisi wakil gubernur dipegang Djarot, yang merupakan kader PDIP. Namun, setelah terbentur “mekanisme partai”, kepastian dukung-mendukung itu baru ada menjelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ahok bersimpang jalan. Dia tahu kepastian itu tidak pasti.
Banyak orang tersentak lalu mendukung Ahok dengan memberikan KTP. Ada juga yang mendukung Ahok untuk menyalurkan rasa tak puasnya melihat tingkah polah partai selama ini. Partai sepertinya tak mampu melahirkan pemimpin.
Partai politik lagi gamang. Kini mereka menerima pendaftaran bakal calon gubernur dan wakilnya. Siapa pun boleh mengambil formulir, apakah dia penyanyi, pengacara, pengusaha, pengamat sosial, sampai yang tak jelas profesinya digolongkan di mana. Tak ada persyaratan, misalnya, harus seideologi dengan asas partai, harus kader partai dengan bukti punya KTA (kartu tanda anggota) partai.
Sampai penutupan pendaftaran, PDI Perjuangan mengantongi 32 pelamar. Di antaranya, ada Yusril Izha Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (atau Bintang Bulan, saya lupa). Lalu ada Muhammad Idrus, kader Partai Keadilan Sejahtera, ada Haji Lunggana alias Haji Lulung, kader Partai Persatuan Pembangunan. Ketiga pelamar ini dikenal sebagai kader partai yang condong ke Islam. Kalau salah satu dari tiga orang ini dipilih PDI Perjuangan, apakah asas nasionalisme dibuang ke laut oleh para Marhaenis, eh, apa istilah ini masih ada? Apakah kader partai tak tersinggung (dan terhina) calon gubernur ternyata berasal dari kader partai lain?
Untuk tokoh sekaliber Yusril, juga terasa aneh kalau dilihat dari sejarah kelahiran partai politik di negeri ini. Ahli hukum tata negara ini melamar di sejumlah partai. Apakah yang dia kejar? Tak perlu bergelar profesor untuk menjawabnya: pasti jabatan. Lantas, kalau jabatan itu diraihnya, ideologi apa yang dia terapkan sebagai gubernur? Apakah ujug-ujug ideologi itu klop dengan partai pengusungnya? Atau lupakan itu, yang penting “gubernur untuk kesejahtraan rakyat”. Jika begitu sederhana, untuk apa ada partai politik? Bubarkan saja partai. Calon-calon bupati, gubernur, presiden, serta anggota parlemen cukup diseleksi oleh Pansel (Panitia Seleksi) yang dibentuk KPU. Calon yang dihasilkan Pansel ini dipilih oleh rakyat saat pemilu atau pilkada. Jangan-jangan lebih baik hasilnya.
Tapi syukurlah, pendaftaran yang diselenggarakan partai untuk calon gubernur ini tampaknya juga “sekadar basa-basi”. Buktinya, PDI Perjuangan sudah dari awal menyebutkan kader yang diusung nanti tergantung “penugasan partai”, yang penetapannya dilakukan Ibu Ketua Umum. Jadi 32 pendaftar di PDI Perjuangan ini hanya “penggembira”, seperti yang pernah terjadi di masa lalu, misalnya, saat konvensi Partai Demokrat menjaring calon presiden. Tak ada hasil apa-apa, tapi pelamar tetap banyak. Maklum, mereka mendaftar hanya untuk mencari popularitas, bukan menawarkan program.
Jika begitu, sampai saat ini baru Ahok yang siap bertarung dalam pilkada DKI Jakarta tahun depan. Belum muncul lawan tangguh, atau mereka masih berusaha menggugurkan Ahok, entah dengan cara apa.
Source: PUTU SETIA ([email protected])