Topik Politik
Duel Basuki Tjahaja Purnama vs Anies Baswedan Mirip Pilpres 2014
Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 114
Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 114
Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 115
Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 115
Peneliti Indopolling Network Wemphy Hadir mengatakan putaran kedua pemilihan gubernur DKI Jakarta antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat melawan Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengingatkan masyarakat pada pemilihan presiden 2014 yang lalu.
Pada saat itu yang maju dalam kontestasi adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla versus Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Jokowi-Jk didukung koalisi pimpinan PDI Perjuangan, sedangkan Prabowo-Hatta didukung oleh koalisi pimpinan Gerindra.
“Yang menarik bagi saya adalah pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta seolah membawa kembali memori kita pada pilpres 2014 yang lalu. Kalau kita melihat persentase perolehan suara pada pilpres 2014, persentase perolehan suara Jokowi-JK sebesar 53,08 persen. Sedangkan untuk Prabowo-Hatta meraup sebesar 46,92 persen. Apakah hasil ini nanti menggambarkan hasil pilgub DKI?” ujar Wemphy di Jakarta, Sabtu (4/3).
Wemphy menjelaskan beberapa hal yang berpotensi terjadi. Pertama, bisa saja pemilih Jokowi-JK pada pilpres 2014 yang lalu memberikan dukungan yang sama kepada Ahok-Djarot. Apalagi, diketahui Ahok merupakan wakil gubernur saat Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Selain itu, pemilih Prabowo-Hatta akan memilih Anies-Sandi. Kalau demikian yang terjadi, maka potensi menang bagi pasangan Ahok-Djarot ada di depan mata,” ungkap dia.
Kedua, kata dia, jika konstelasinya berbeda yakni pilpres tidak menjadi preferensi bagi pemilih untuk memilih nanti pada 19 April 2017, maka ini akan menjadi pertarungan yang sangat sengit. Pasalnya, selisih persentase suara antara Ahok-Djarot vs Anies-Sandi hanya terpaut kurang lebih 3 persen.
“Selisih pilgub DKI Jakarta sangat tipis. Pertarungannya bakal sengit, kompetitif dan seru,” tandas dia.
Lantaran kompetitif, lanjut Wemphy, para pasangan calon dan para tim sukses perlu melakukan gerakan door to door untuk meningkatkan elektabilitas masing-masing pasangan calon. Mereka harus mendatangi pemilih dari rumah ke rumah untuk meminta dukungan dan menjelaskan secara singkat program prioritas calon gubernur.
“Hal ini tentu mesti gencar dilakukan oleh Anies-Sandi karena mereka adalah pendatang baru dalam kontestasi pilgub DKI Jakarta. Sedangkan bagi kubu Ahok-Djarot memiliki ruang yang cukup yang meyakinkan publik atas pencapaian mereka selama memimpin DKI Jakarta sembari menyampaikan kepada publik pekerjaan rumah yang belum selesai,” ungkap dia.
Poin lain yang mesti dilakukan, lanjut Wemphy, adalah komunikasi politik dengan kubu Agus-Sylvi. Menurutnya, siapa yang mampu melakukan komunikasi politik dengan kubu Agus-Sylvi maka bisa saja mendapat limpahan suara dari calon tersebut.
“Dengan demikian bisa menambah elektabilitas calon yang bersangkutan. Saya yakin bahwa dengan melakukan penggalangan yang terstruktur maka calon tersebut bisa meraih dukungan mayoritas,” tutur dia.
Selain itu, kata dia, yang ampuh bagi pemilih kelas menengah ke bawah adalah hal-hal yang praktis misalnya layanan administrasi yang cepat dan efisien, layanan kesehatan yang terjangkau, subsisdi pendidikan bagi keluarga yang tidak mampu, layanan transportasi yang aman serta program praktis lainnya.
“Bagi incumbent menguntungkan karena sudah melakukan hal-hal praktis itu. Tugas berat adalah Anies-Sandi karena mereka belum melakukan namun hanya memberikan harapan bagi publik DKI Jakarta,” pungkas dia.