Salah satu cara untuk meredam tindakan-tindakan intoleran adalah dengan memberlakukan aturan yang tegas.
Tanggal 6 Desember lalu di Bandung terjadi aksi pembubaran paksa acara kebaktian di kompleks Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Kemudian sehari setelahnya, ada penurunan paksa baliho Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta karena menampilkan sosok mahasiswi berjilbab pada iklan penerimaan mahasiswa baru kampus itu.
Selang tiga hari setelah insiden tersebut, sembilan warga Muslim yang datang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk mengikuti acara keagamaan di Atambua, Belu, diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Brigade Meo Timor.
Kapolda NTT Brigjen Widyo Sunaryo kepada pers, Sabtu (10/12) mengatakan sembilan orang itu memang tidak melanggar aturan hukum apa pun, tetapi mengingat “apa yang terjadi baru-baru ini di Jakarta dan Bandung” maka polisi dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepakat memulangkan mereka.
Dan lima hari terakhir ini aksi “sosialisasi” fatwa MUI oleh beberapa organisasi massa, antara lain Front Pembela Islam (FPI), terjadi di sejumlah restoran dan pusat perbelanjaan di Bekasi, Solo, Yogyakarta dan Surabaya. Mengapa aksi intoleransi kembali marak terjadi?
Intoleransi dalam Tahap Darurat
Menurut pengamat politik Al Chaidar dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe di Aceh, fenomena ini merupakan bagian dari apa yang disebutnya sebagai “kebangkitan konservatisme”.
“Hal ini sepertinya merupakan perluasan dari kebangkitan konservatisme yang sedang terjadi di Timur Tengah dan sekitarnya. Ada semangat untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam secara kaffah atau total dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya kepada VOA, Senin (19/12).
“Mereka kerap mewujudkannya dengan cara yang mengejutkan, seperti tindakan sweeping atau razia berdasarkan fatwa semata tanpa mengindahkan prinsip hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat lain. Atau lewat gerakan purifikasi, dengan sama sekali menolak nilai-nilai, infrastruktur atau produk yang mereka anggap menyimpang.”
“Itulah makanya ada gerakan pendirian toko 212 atau bank 212. Kelompok konservatif ini memiliki kerangka nilai atau tata aturan yang dipersepsikan sebagai hal yang tidak selaras dengan modernisasi atau Barat,” tambahnya.
Salah satu cara untuk meredam tindakan-tindakan mereka adalah dengan memberlakukan aturan yang tegas.
“Pemerintah bisa bertindak cepat mengeluarkan keputusan eksekutif karena apa yang terjadi sekarang sudah merupakan suatu yang darurat. Jangan sampai nilai-nilai kebhinekaan kita hilang karena membiarkan tindakan kelompok-kelompok konservatif ini, yang akhirnya diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat lain yang merasa bisa melakukan hal serupa,” kata Al Chaidar.
Pemerintah, ujarnya, harus bertindak cepat dan tegas tanpa perlu menunggu DPR membuat aturan baru.
“Ambil saja kebijakan eksekutif sebagaimana yang mereka lakukan pasca pemboman di Bali tahun 2002. Ketika itu pemerintah mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disusul pembentukan Densus 88 Anti-Teror dua tahun kemudian. Tidak menunggu proses panjang di DPR”, ujar Al Chaidar, yang kini kandidat doktor di jurusan Antropologi FISIP UI.
DPR: Aksi Intoleransi Masih Wajar
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodiq Mudjahid tidak sepakat dengan Al Chaidar bahwa situasi intoleransi sudah ada dalam tahap darurat.
“Dari data-data yang kami kumpulkan di Pusat Data dan Dinamika Umat dan juga badan-badan lain, sebetulnya dari segi kuantitatif dan kualitatif sama saja. Jika dipantau di daerah-daerah maka aksi intoleransi yang terjadi itu dilakukan oleh semua pihak. Hanya saja kemarin muncul kasus besar yaitu kasus Ahok dan kasus penghentian kebaktian di Sabuga Bandung, ditambah semakin banyaknya orang yang melek sosial media. Jadi kelihatannya besar,” ujar Sodiq, mengacu kepada sidang tuduhan penistaan agama terhadap Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.
Hal senada disampaikan Jeremy Menchik, asisten profesor ilmu politik dan agama di Universitas Boston, yang mengatakan belum saatnya kita merasa panik.
“Institusi demokrasi di Indonesia terbukti ulet dan tahan uji. Saya memperkirakan Ahok – salah satu fenomena yang mendorong terjadinya tindakan intoleransi – tidak akan memenangkan pilkada tapi tidak berarti warga Kristen tidak aman tinggal di Indonesia, tidak berarti warga Kristen tidak bisa beribadah di Indonesia,” ujarnya dalam wawancara lewat telepon dengan VOA.
“Jika kita bandingkan tingkat intoleransi di Indonesia dengan di negara-negara lain, kita tidak melihat terjadinya penganiayaan massal seperti yang terjadi di negara-negara lain. Memang benar ada intoleransi di Indonesia, tetapi belum sampai pada tahap yang membuat kita harus panik,” katanya.
Menchik mengatakan bukti empiris menunjukkan intoleransi memang terus menerus terjadi terhadap kelompok minoritas, ada kelompok yang benar-benar menjadi korban seperti kelompok Ahmadiyah, tetapi tidak pernah ada lagi kasus pembunuhan warga Ahmadiyah sebagaimana yang terjadi pada tahun 2011.
“Juga tidak ada aksi kekerasan terhadap warga Kristen, Hindu, Buddha, aliran kejawen dan aliran kebatinan. Tahukah Anda bahwa di Amerika terjadi kenaikan kejahatan bermotif kebencian (hate crime) terhadap kelompok minoritas berbeda – baik terkait agama, etnis, ras, kelompok seks tertentu hingga kelompok-kelompok rentan lainnya – hingga 6.000 kasus setiap tahun. Apakah berarti demokrasi di Amerika terancam hancur? Saya kira tidak,” ujarnya.
Kata Menchik, pada masyarakat yang menganut prinsip kebebasan berbicara dan bertindak, intoleransi memang kerap terjadi.
“Indonesia juga tidak berbeda dengan negara-negara demokratis lain. Bahkan kalau saya bisa terang-terangan, Indonesia belum pernah melantik seorang Islamis sebagai presiden, tetapi Amerika akan melantik seseorang yang mendukung supremasi kulit putih. Saya jauh lebih khawatir dengan Amerika dibanding dengan Indonesia,” katanya.
Namun baik Sodiq maupun Menchik sepakat dengan Al Chaidar, bahwa hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut dan pihak berwenang seharusnya memberlakukan aturan hukum yang lebih tegas.
“Penting bagi siapa pun yang peduli dengan perkembangan demokrasi, kebebasan beragama dan toleransi untuk berbicara terbuka dan lantang tentang kasus-kasus intoleransi. Terutama pemerintah Indonesia yang seharusnya berani mengambil langkah hukum dengan menuntut setiap pelaku ke meja hijau. Harus ada revisi aturan yang tidak lagi tepat diberlakukan dan tentunya pemberlakuan aturan baru yang lebih tepat,” ujar Menchik.
Ia mencontohkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a KUHP yang dinilai sebagai aturan hukum yang rancu dan lemah, sehingga bisa dengan mudah disandera oleh mereka yang hanya peduli pada upaya membela kepentingan mereka semata.
“Dalam sidang Mahkamah Konstitusi tahun 2010 dimana UU itu dibahas, majelis hakim sempat menyerukan revisi UU itu. Tetapi saya kira hingga kini DPR belum membahasnya. Secara keseluruhan bukan hal yang aneh bagi Indonesia memiliki UU Penodaan Agama karena ada sekitar 14 negara lain yang juga memiliki UU serupa,” ujarnya.
“Tetapi penerapan dan penegakan aturan itu yang luar biasa, terlebih ketika upaya itu dilakukan dengan meminggirkan kelompok-kelompok minoritas dibanding untuk mencegah terjadinya penistaan agama. UU itu malah digunakan untuk mengadili Ahmadiyah dan Ahok, dan itu tidak konsisten dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang kita harapkan diwujudkan oleh negara seperti Indonesia,” tambahnya.
Sodiq mengatakan selain pemerintah, pemuka agama adalah pihak yang paling bertanggung jawab memberi edukasi tentang toleransi secara lebih intensif.
“Selama ini toleransi dianggap sudah pada tahu karena ada dalam ajaran agama. Padahal seharusnya menjadi materi khusus yang disampaikan para pemuka agama dalam dakwah dan pernyataan-pernyataannya. Demikian juga mereka yang menjadi anggota Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB, saya pernah menjadi anggotanya. FKUB sekarang hanya bersifat formalitas dan hanya bertemu jika ada kasus saja. Belum menjadi gerakan toleransi bersama. Padahal seharusnya FKUB bisa mewadahi kegiatan bersama antar semua pemeluk agama,” ujarnya.