Pengamat inteljen dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan bahwa kesadaran religus sedang meningkat tajam belakangan ini di Indonesia, dan kondisi itu baginya sangat positif. Masalahnya, konsolidasi umat pasca aksi 4/11 dan 2/12 tak hanya meningkatkan “gairah” beragama, namun juga memunculkan kelompok baru yang dapat dikatakan belum jelas alirannya dan berpotensi mengajak umat memilih “jalan perjuangan” ekstrem.
Menurut dia, potensi ancaman juga tak serta merta meningkat secara langsung, hanya saja eforianya yang perlu diwaspadai terutama di kalangan apa yang disebut kelompok “muslim baru” itu.
“Jadi apakah bisa dibilang bahwa munculnya gerakan-gerakan perjuangan di umat Islam belakangan ini justru membawa angin segar buat kelompok teror? Tentu tidak langsung,” tutur dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (25/12/2016).
“Karenanya, penting bagi para ulama dan tokoh-tokoh agama untuk menjaga barisan umat tetap rapat dan solid,” tambahnya. Khairul juga menekankan pentingnya penegakan hukum, peran intelijen keamanan, dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan dalam pemberantasan terorisme.
“Kita juga harus konsisten terorisme bukan bagian dari ajaran agama apa pun, pemerintah perlu mengajak semua komponen bangsa meningkatkan daya tahan dan tidak menyemai bibit-bibit ancaman kejahatan berlandaskan kebencian ini seperti diskriminasi, kesenjangan sosial, pemarjinalan, dan lain sebagainya,” kata Khairul
Bagaimanapun, kata Khairul, perang global melawan terorisme telah gagal karena bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik, dan teroganisir rapi.
Sementara, bicara insurgensi, ia mengatakan tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer.
“Apakah ini semua hendak mengarah dan digiring ke sana? Semoga tidak. Biayanya sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Karena virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan,” tuturnya sebagaimana dikutip Antara.
Ia menambahkan bahwa Polri dan para pemangku pemberantasan terorisme jangan kehilangan kecerdasan. “Kegagalan meyakinkan masyarakat hanya akan berarti satu hal, kehilangan sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat,” pungkasnya.