Topik Nusantara
Indonesia Masuk Menjadi Pasar Empuk Teroris?
Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 114
Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 114
Notice: Undefined variable: post in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 115
Notice: Trying to get property 'ID' of non-object in /home/berita7up/topikindo.com/wp-content/themes/topikindo/amp-single.php on line 115
Menghindarkan Indonesia sebagai Pasar Teroris
topikindo.com – Sudah bukan barang baru bila setiap kejadian aksi teror, ribuan bahkan jutaan informasi baik palsu maupun fakta dapat dilihat melalui internet. Masyarakat yang terhubung dengan dunia maya dengan mudah menyantap suguhan aksi terorisme di berbagai perangkat digital yang mereka bawa.
Internet telah membuat informasi dan komunikasi menjadi semakin luas. Kabar di suatu tempat, hanya dalam hitungan detik telah menyebar ke berbagai belahan dunia.
Inilah salah satu media yang menarik bagi para teroris. Sebuah media yang mampu menjangkau seluruh pelosok dunia untuk menyebarkan pesannya.
Sementara terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).
Dalam kajian, terorisme membutuhkan sejumlah syarat. Pertama membutuhkan media untuk menyampaikan pesan kekerasan yang mereka jalankan.
Pesan tersebut hanya akan sampai bila ada media yang mengkomunikasikan. Semakin luas media tersebut dapat diakses semakin menarik untuk digunakan.
Kedua, aksi terorisme membutuhkan penonton (publik). Pertunjukan teror tersebut dapat menjadi propaganda menyebarkan rasa takut kepada publik maupun untuk menginspirasi dan merekrut para teroris baru.
Kini untuk membenamkan ideologi teroris, tidak lagi membutuhkan tatap muka secara fisik. Cukup dengan menggunakan komunikasi melalui internet, maka seseorang dapat direkrut menjadi teroris.
Untuk itu, tidak salah bila kemudian internet menjadi teknologi yang populer digunakan oleh para teroris untuk menyampaikan pesannya.
Melalui internet, setiap orang dapat menyebarkan berbagai pemikirannya. Baik melalui teks maupun video. Baik melalui situs-situs maupun jejaring media sosial.
Tantangan Internet Tidak bisa dipungkiri, teknologi informasi dan komunikasi memiliki perkembangan yang sangat dramatis.
Sejak ditemukannya internet, kini teknologi tersebut digunakan hampir setengah populasi manusia dunia, Dalam laporan We Are Social bertajuk Digital in 2016, dari populasi dunia yang mencapai 7,4 miliar orang, terdapat 3,4 miliar pengguna internet di seluruh belahan dunia.
Di Indonesia dengan populasi 259 juta jiwa, terdapat sekitar 88,1 juta pengguna internet atau sekitar 30 persen. Laporan itu menyatakan pengguna internet aktif di Indonesia meningkat 15 persen dibandingkan Januari 2015 silam.
Hal itu didorong oleh penetrasi internet yang mencapai 34 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang sebesar 28 persen.
Data dari We Are Social tersebut juga menyampaikan orang Indonesia rata-rata menggunakan internet per harinya lewat PC atau tablet sekitar 4 jam 42 menit. Sementara waktu yang dihabiskan untuk surfing di ponsel lebih sedikit, yakni 3 jam 33 menit saja.
Sementara itu, pengguna aktif internet di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah pengguna media social saat ini. Laporan menyatakan sekitar 79 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia. Sementara itu, jumlah pengguna yang mengakses media sosial melalui perangkat mobile ada sekitar 66 juta.
Media-media sosial yang populer kini dijejali oleh jutaan orang diberbagai dunia yang saling terhubung, berkomunikasi secara virtual.
Facebook misalnya, pengguna aktifnya bertambah 60 juta per bulan dan telah melampaui 1,5 miliar pengguna di seluruh dunia.
Youtube, aplikasi berbagi video tersebut sejak 2013 menyatakan telah disesaki lebih dari satu miliar pengguna. Youtube menjadi medium yang sangat popular untuk memberikan tontonan.
Twitter, aplikasi berbagi pesan singkat juga merupakan sosial media yang populer di kalangan pemuda dan pengguna internet. Pengguna twitter diperkirakan mencapai 300 juta dan 50 juta penggunanya berasal dari Indonesia.
Seiring dengan pertumbuhan internet tersebut, maka tak heran bila Kasubdit Pengawasan dan Kontra Propaganda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kol (Inf) Dadang Hendrayudha mengatakan, jumlah laman yang berisi tentang terorisme terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bila pada 1998 lalu teridentifikasi ada 12 website teroris, dan pada 2003, telah meningkat menjadi 2.650 website. Jumlah itu membengkak menjadi hampir 10 ribu website pada tahun 2014.
Meski pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi propaganda teroris di dunia maya tersebut. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika pemblokiran website teroris dilaksanakan.
Begitu pula bekerjasama dengan sosial media seperti facebook, youtube maupun twitter untuk memblokir secara agresif materi-materi ekstremis.
Namun demikian, di dunia maya seperti mengamini ungkapan mati satu tumbuh seribu.
Masalah propaganda terorisme bukan hanya masalah Indonesia tapi juga masalah dunia. PBB juga memiliki perhatian yang sama terkait hal ini.
Industri di dunia internet pun hingga saat ini juga tidak memiliki jurus sakti yang mampu menghadang propaganda teroris 100 persen.
Seperti diungkapan Wakil Presiden Microsoft Corporation Stephen Crown saat bertemu Dewan Keamanan PBB, tidak ada senjata pamungkas untuk menghentikan pelaku teror menggunakan internet.
“Seandainya ada penyelesaian yang mantap, industri tentu telah memanfaatkannya,” kata Crown dalam debat di Dewan Keamanan mengenai kontra-terorisme, Mei 2016 lalu.
Crown memaparkan contoh, dalam waktu 15 menit setelah serangan Paris tahun lalu, ada 7.500 “tweet”; dalam waktu dua pekan, ada satu juga orang yang melihat video di Internet dan memuji serangan tersebut.
Kesadaran Di tengah sulitnya mencegah propaganda teroris di dunia maya, maka upaya yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kesadaran diri pada setiap individu masyarakat bahaya terorisme.
Anies Baswedan, saat masih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan senjata paling canggih dalam melawan ekstremisme adalah berpikir kritis (critical thingking).
Sebuah metoda,yang hingga kini justru tidak diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Padahal berpikir kritis akan menumbuhkan daya tangkal terhadap hal-hal yang berbau ekstrem.
Tidak tumbuhnya daya kritis membuat masyarakat mudah dikelabui. Tidak heran bila banyak masyarakat mudah percaya begitu saja informasi di dunia maya, bahkan turut serta menyebarkannya dengan sekali klik saja.
Tentu saja upaya pendidikan bukanlah program jangka pendek, namun memiliki tujuan jangka panjang.
Upaya-upaya kesadaran seperti internet sehat, agen perubahan informatika, aksi bela negara tentunya perlu didukung untuk menanamkan nilai-nilai pada masyarakat dalam menghadapi serbuan informasi.
Membangun kesadaraan positif dalam berinternet akan menghindarkan bangsa ini sebagai pasar para teroris.