Dua tokoh elit nasional ini pantas menjadi teladan dan menjadi tempat belajar politik. Keduanya adalah sosok Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto. Meski berbeda secara politik, tetapi bersatu ketika menyangkut urusan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pantas menjadi contoh bagi politisi muda Indonesia.
Hal itu dikatakan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Maruarar Sirait di hadapan peserta Sekolah Pemimpin Nasional ICMI Angkatan I yang bekerja sama dengan Qodari School of Politics (QSP) di Jakarta, Jumat (9/12/2016).
Hadir sebagai pembicara politisi Partai Golkar, Mukhamad Misbhakun dan Muhammad Qodari sebagai Ketua Sekolah Politik Nasional (SPN) ICMI.
Maruarar menjelaskan, keteladanan yang ditunjukkan oleh Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra ketika menghadiri pelantikan Presiden Jokowi merupakan contoh seorang negarawan sejati.
Begitu juga dengan saling kunjung antara Presiden Jokowi dan Prabowo yang membuka mata publik bahwa ketika kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jauh lebih penting dari kepentingan pribadi meski keduanya terlibat persaingan pada saat Pilpres 2014.
Pada kesempatan itu Maruarar juga menceritakan pengalaman bagaimana menjadi anggota legislatif yang handal dan berkualitas. “Saya mencalonkan diri sebagai anggota DPR dapil Subang, Majalengka, dan Sumedang. Saya berasal dari Sumatera Utara tetapi dapat diterima di dapil Jawa Barat selama tiga periode dan mendapatkan suara terbanyak,” katanya.
Ara, begitu ia disapa, memberi tips kepada para peserta sekolah kepimpinan bahwa kalau menjadi politisi harus punya grass root yang kuat. “Kalau enggak punya grass root itu namanya politisi salon,” katanya.
Ara lebih jauh mengatakan, jika sudah terpilih menjadi anggota DPR atau politisi, jangan lupa merawat grass root, terutama anak muda.
Sementara itu, Misbhakun mengatakan, menjadi politisi itu seperti berbalas pantun. Kalau kita menyerang orang lain, kita harus siap diserang. “Saya mengeritik habis kasus Bank Century, kemudian saya diserang dan masuk penjara selama dua tahun. Saya melawan secara hukum dan saya menang. Ini yang memperkuat mental saya,” katanya.
Pengalaman dipenjara, kata dia, tidak mengecilkan hati, malah sebaliknya menjadi pemicu untuk bangkit dan membuat pilihan. “Partai saya ingin menenggelamkan karier politik saya, ketika dipenjara. Saya melawan, tetapi saya berpikir dengan cara apa? Saya membuat pilihan yakni pindah partai. Saya masuk Partai Golkar tahun 2014 dan terpilih,” katanya.
Soal suka duka menjadi anggota DPR RI, Anggota Komisi XI DPR Ini menceritakan bagaimana beratnya perjuangan masuk menjadi anggota legislatif. Apalagi pertarungan di Jawa lebih ketat dibanding luar Jawa.
“Saya bandingkan dengan teman saya dari Kaltara (Kalimantan Utara) yang jumlah penduduknya hanya 600.000 orang. Sedangkan Dapil saya (Probolinggo Pasuruan) penduduknya mencapai 2,7 juta orang,” katanya.