Ketua DPR Setya Novanto mengetukkan palu sidang di tangan kanannya tiga kali untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi Undang-Undang.
Rapat Paripurna yang baru berakhir pada Jumat (21/072017) dini hari itu sempat diwarnai aksi walk out Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Demokrat. Akan tetapi, keputusan tetap sah karena dari total 539 anggota DPR, yang pro opsi A sebanyak 322, yang tidak setuju hanya 217 anggota.
Paket A tersebut adalah ambang batas presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional, ambang batas parlemen empat persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi: 3-10, konversi suara saint lague murni.
Dengan demkian, tahapan Pemilu serentak 2019 sudah bisa berlangsung dengan payung hukum yang sah dan KPU bisa segera bekerja untuk mempersiapkan pemilu pada 2019.
UU yang baru ini secara langsung akan menguntungkan partai yang memperoleh suara besar pada pemilu 2014, terutama PDIP yang saat ini berkuasa.
Bagaimana PDIP dan Jokowi untung?
Presidential threshold 20-25 persen tersebut dihitung dari perolehan suara pada pemilu sebelumnya, yakni 2014, yang dimenangkan PDIP dengan suara 18,95%. Dengan cara ini, partai berlambang moncong banteng ini hanya butuh koalisi dengan satu partai untuk mengusung calon presiden.
Apabila calon PDIP, tak lain dan bukan adalah Joko Widodo, memenangkan pilpres meskipun pada pemilu 2019 nanti suara PDIP turun drastis, pemerintahannya dapat memperbaiki situasi selama 5 tahun ke depan, untuk menghadapi pemilu berikutnya.
Presidential threshold 20-25 persen juga menghalangi partai baru untuk mengusung capres alternatif sebagai pesaing Jokowi. Pada akhrinya, yang muncul adalah kemungkinan duel antara Jokowi melawan Prabowo Subianto terluang lagi. Sebagaimana yang sudah terjadi, jika duel ini terulang, peluang masih lebih memihak Jokowi.
Dengan ambang batas pencalonan presiden seperti itu, partai-partai baru mau atau tidak mau harus bergabung dengan partai lama untuk terlibat dalam Pilpres. Partai yang sangat memikat untuk dijadikan koalisi adalah PDIP dengan calon kuat Jokowi.
Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab sejumlah pihak bakal menggugat putusan tersebut di Mahkamah Konstitusi. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), misalnya, melalui direktur eksekutifnya Titi Anggraini menyebut UU tersebut bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum“. Aturan baru ini dinilainya akan mengakibatkan ketidakadilan perlakuan bagi partai politik baru peserta Pemilu 2019 yang belum memiliki kursi/suara dari pemilu sebelumnya.
Menurut Titi, kerja KPU juga dibayang-bayangi kemungkinan terjadinya perubahan aturan main pemilu akibat adanya putusan MK atas uji materi UU Pemilu.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, yang juga bersiap menggugat, mengatakan hal serupa, yakni presidential treshold dalam pemilu serentak menyalahi UU. Selain bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, presidential treshold juga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) mengatur bahwa pemilihan umum yang diikuti parpol, yakni memilih anggota DPR dan DPRD.
Oleh karena itu, ia menilai, pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Bahkan, menurut pakar hukum tata negara itu, Pemilu dilaksanakan baik serentak maupun tidak serentak, presidential treshold seharusnya tak ada.