Nasib Partai Amanat Nasional (PAN) dalam koalisi pendukung pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla di ujung tanduk. Partai koalisi mengecam keras langkah politik PAN meninggalkan ruang sidang paripurna saat hendak dilakukan voting revisi Undang-Undang Pemilu, Jumat (21/7) dini hari.
Anggota DPR Fraksi PAN Yandri Susanto ditunjuk menyampaikan sikap fraksi partai berlambang matahari tersebut. Yandri menuturkan, sejak awal fraksinya sepakat dengan musyawarah mufakat untuk penentuan lima isu krusial UU Pemilu. Namun, karena musyawarah mufakat menemui jalan buntu, maka fraksinya memutuskan menolak ikut voting.
“Silakan saudara-saudaraku ambil keputusan. Oleh karena itu, kami tetap silaturahmi dan perbedaan di antara kita. Kami fraksi PAN untuk tahap berikutnya pengambilan tingkat dua atau forum rapat paripurna ini kami nyatakan tidak akan ikut dan tidak akan bertanggungjawab atas keputusan ini. Inilah Indonesia, inilah kita. Perbedaan biasa saja, kita tetap tersenyum dan menghargai yang lain,” ujar Yandi.
Langkah politik PAN justru sejalan dengan fraksi partai oposisi seperti Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Demokrat yang juga walk out dari ruang sidang. Tidak heran jika beragam sindiran dan kecaman datang silih berganti dari partai koalisi pendukung pemerintah. Bahkan, Presiden Joko Widodo ikut melontarkan sindiran halus terhadap PAN. Presiden menceritakan saat bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sehari sebelum sidang paripurna di DPR.
Jokowi mengatakan, dalam pertemuan itu PAN menyampaikan dukungan terhadap usulan pemerintah di RUU Pemilu. Salah satunya soal ambang batas calon presiden atau presidential threshold pada kisaran 20-25 persen. Namun kenyataannya justru PAN balik badan.
“Sehari sebelum (sidang paripurna) kan kita sudah ketemu dan akan solid di partai pendukung pemerintah,” ujar Jokowi usai menutup Musyawarah Kerja Nasional II dan Workshop Nasional (Bimbingan Teknis) Anggota DPRD PPP Se-Indonesia di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Jumat (21/7).
Jokowi tak ingin menanggapi lebih jauh langkah politik pemerintah setelah PAN ingkar janji dari dukungannya. Demikian juga saat disinggung sanksi politik yang diberikan kepada partai koalisi yang tidak sejalan dengan usulan pemerintah.
Sindiran keras justru datang dari partai penguasa, PDI Perjuangan. Partai besutan Megawati Soekarnoputri ini menganggap PAN sudah tidak lagi ada dalam lingkaran koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. “Dengan sikap PAN yang tidak sejalan dengan usulan pemerintah sebenarnya secara materil PAN sudah tidak ada dalam kerjasama partai-partai pendukung pemerintah,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Perreira saat dihubungi, Jumat (21/7).
Sebagai partai utama pendukung pemerintah, PDI Perjuangan tak perlu lagi meminta PAN angkat kaki dari koalisi pendukung pemerintah. “Sehingga tanpa diminta pun PAN sendirinya yang sudah mengambil keputusan tersebut,” katanya.
Andreas menjelaskan, fraksi koalisi pendukung pemerintah terus melakukan lobi-lobi agar kompak dalam pengambilan keputusan UU Pemilu. Namun, permintaan itu tak digubris PAN. Pada akhirnya, PAN menjadi satu-satunya fraksi dalam koalisi yang menentang keinginan pemerintah agar presidential threshold tetap 20-25 persen.
“Dalam kasus RUU Pemilu pembicaraan itu sudah berulang-ulang. Bahkan kemarin dalam lobi yang berjam-jam, partai pendukung pemerintah berharap bisa bersama-sama untuk mendukung opsi A, namun justru PAN yang menolak dan memutuskan untuk tidak bergabung dan mendukung opsi lain,” jelasnya.
Partai Golkar juga tak mau kalah mengkritik PAN. Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid menuding PAN tidak konsisten berjuang bersama dengan koalisi pendukung pemerintah.
“Menurut saya itu sikap tidak bisa kita campuri tapi itu inkonsistensi daripada sebuah perjuangan. Tapi kita tidak bisa mengatakan itu tidak konsisten karena itu hak masing masing partai,” kata dia di kantor DPP Partai Golkar, Angrek Neli, Jakarta Barat.
Dalam politik, tindakan yang dilakukan PAN merupakan hal yang wajar. Nurdin menyebut langkah PAN bagian dari strategi menghadapi Pemilu 2019. Partainya tetap menghargai sikap PAN.
Pihaknya juga menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi terkait sikap PAN. “Karena tiap partai memiliki kepentingan, kepentingan itu diramu dalam strategi untuk 2019,” kata Nurdin.
Partai Nasional Demokrat mendesak PAN keluar dari koalisi partai pendukung pemerintah. Desakan ini karena perbedaan sikap PAN atas pengambilan keputusan opsi paket RUU Pemilu. Bahkan, PAN melakukan walk out dan tidak mau bertanggung jawab atas keputusan paripurna soal paket RUU Pemilu.
“Kami mendorong pengambilan sikap yang tegas terhadap PAN. Kami meminta PAN keluar atau dikeluarkan dalam koalisi,” kata anggota Fraksi Partai NasDem Taufiqulhadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/7).
Keberadaan PAN justru akan membuat koalisi menjadi tidak harmonis karena sering tidak sejalan dengan keputusan partai-partai pendukung pemerintah lainnya.
“Kami meminta agar ada sikap yang tegas terhadap sikap PAN karena mempertahankan sikap yang demikian, sebuah partai di dalam koalisi dengan perbedaan yang sangat mencolok itu akan membuat nanti menurut saya akan membuat koalisi tak harmonis,” tegasnya.
Sekjen PAN Edy Soeparno membela diri. Dia langsung membantah jika ada yang menyebut PAN telah membangkang dari koalisi pendukung pemerintahan karena walk out dalam pengesahan Undang-undang Pemilu.
“Enggak (membangkang) kita selalu komunikasi dengan parpol pendukung pemerintah. Kita sudah sampaikan juga ke mereka apa yang menjadi kendala kita,” kata Edy saat dihubungi, Jumat (21/7).
Akibat perbedaan sikap dengan pemerintah, posisi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang dijabat oleh politikus PAN Asman Abnur menjadi sorotan. Edy enggan berandai-andai jika koleganya itu bakal ditendang dari kabinet karena PAN sering berbeda sikap dengan pemerintah.
Edy hanya menegaskan komitmen dan sikap politik partainya untuk mendukung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sampai tahun 2019. “Komitmen kita tetap sebagai pendukung pemerintah sampai 2019,” tegasnya.