Pasangan Anies Baswedan- Sandiaga Uno mengambil alih kursi pemerintahan di Pilkada DKI putaran kedua 2017. Berdasarkan hasil perhitungan suara KPU DKI Jakarta. Pasangan ini berhasil mengalahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Saiful Hidayat dengan selisih relatif jauh. Hasil final real count KPU DKI Jakarta, Anies-Sandi memperoleh 57,95 persen suara atau dipilih 3.239.668 pemilih. Sementara itu, Ahok- Djarot meraih 42,05 persen atau 2.350.887 suara.
Kesuksesan Anies-Sandi mengalahkan petahana ini tidak terlepas dari kekuatan para pendukungnya, yang kebanyakan merupakan lawan politik Presiden Joko Widodo pada pemilu 2014 lalu. Sebut saja Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang kalah dalam Pilpres melawan Jokowi. Kemudian Partai Keadilan Sejahtera yang sampai saat ini masih setia dan solid berkoalisi dengan Gerindra dan tidak tanggung-tanggung menjadi oposisi dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Belakangan ini, Partai Amanat Nasional (PAN) yang pada pilpres 2014 mengusung Hatta Rajasa sebagai wakil Prabowo, juga ikut bergabung menyatakan dukungan ke Anies-Sandi dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Padahal, di bawah kepemimpinan Zulkfili Hasan, PAN sudah menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Jokowi. Parpol pendukung Jokowi lain seperti PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura,PPP dan PKB semuanya mendukung Ahok-Djarot.
Selain dari partai yang saat ini ada di parlemen, Anies-Sandi juga mendapat dukungan dari Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Partai Perindo, yang pada pilpres lalu juga adalah timses Prabowo-Hatta. Tak hanya itu, dari kalangan artis yang mendukung Anies-Sandi, juga ada lawan politik Jokowi saat pilpres. Sebut saja musisi Ahmad Dhani.
Prabowo Bangkit
Selama ini, chemistry antara Prabowo dan para pendukungnya di pilpres 2014 lalu memang masih terus berjalan dengan baik. Apabila tetap dipertahankan, maka bukan tidak mungkin koalisi ini akan kembali bersatu pada Pemilu Presiden tahun 2019. Polarisasi seperti di Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 bisa terulang di pilpres 2019, tidak heran jika Pilkada DKI Jakarta rasa Pilpres.
Kemenangan Anies-Sandi, seharusnya bisa dijadikan momentum bagi Koalisi Prabowo meningkatkan kepercayaan diri. Artinya, koalisi ini masih memiliki kekuatan dan bisa bangkit untuk melawan koalisi petahana di pilpres 2019. Saat ini yang harus dipikirkan oleh kubu Prabowo dan koalisinya adalah mencari dan mempersiapkan figur yang diusung sebagai capres dan cawapres. Jika Prabowo diusung, tidak masalah karena masih seksi, atau bisa jadi akan mengusung figur lain yang akan ditarik.
Prabowo Capres Paling Kuat
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sendiri mengakui wacana pencapresan Prabowo pada 2019, kembali menguat pasca kemenangan Anies-Sandi. Terlebih ketika Fadli Zon mengatakan bahwa Insya Allah masyarakat mengharapkan Pak Prabowo sehat dan bisa maju untuk Pemilu 2019, karena menurutnya kira-kira kalau beliau terpilih ini akan membawa Indonesia lebih kuat dan terhormat. Pernyataan Fadli itu disinyalir angin surge bagi Prabowo. Fadli Zon menganggap, kemenangan pasangan Anies dan Sandi menjadi tolok ukur bagi Gerindra untuk mencapreskan Prabowo kembali. Terlebih, ujar Fadli, Gerindra mampu memenangkan pasangan Anies-Sandi yang dukungan dananya tergolong minim. Saat ditanya apakah Prabowo memang ingin kembali maju sebagai capres, Fadli menjawab, hal itu memang belum dinyatakan secara gamblang oleh Prabowo.
Namun, Prabowo sebelumnya sempat menyinggung Pilpres 2019 saat kampanye akbar Anies-Sandi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/1/2017). Prabowo mengisyaratkan pencalonannya pada 2019 nanti. “Saudara-saudara, kalau kalian ingin saya jadi presiden 2019, Anies-Sandi gubernur DKI, betul? di 2019, kalian harus kerja keras, kalian juga harus kerja keras di Februari 2017, jangan di sini teriak-teriak,” kata Prabowo dalam sambutannya.
Strateegi Pilpres Dinilai Prematur
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P) Andreas Hugo Pareira menilai, terlalu prematur jika ada pihak yang menyimpulkan hasil pada Pilkada DKI 2017 merepresentasikan Pemilu 2019. Menurut Andreas, karakter Pilkada dan Pilpres berbeda. Hasil Pilkada DKI, kata dia, tak serta merta berkorelasi dengan perolehan suara Jokowi bila nantinya mantan wali kota Solo itu dicalonkan oleh PDI-Ppada Pilpres 2019. “Belum bisa disimpulkan seperti itu, karena karakter Pilpres dan Pilkada DKI berbeda, isu berbeda, luas cakupan wilayah juga beda,” kata Andreas kepada beberapa media, Kamis (20/4/2017).
Ia juga menambahkan, setiap pilkada memiliki tantangan dan karakter yang berbeda-beda. Karena itu, menurut Andreas, tiap kekalahan di pilkada perlu mendapatkan perhatian dan evaluasi khusus agar tak terulang di daerah lain. “Begitupun antara Pilkada DKI dan Pilpres tentu juga punya karakter sendiri baik dari segi luas cakupan, isu, maupun tantangannya pasti beda,” penjelasannya. Tentunya perbedaan ini memberikan gambaran bahwa terlalu subuh menyusun strategi untuk Pilpres 2019, namun tidak bisa juga dipungkiri ini adalah dampak positif bagi pesaing Jokowi di 2019 nantinya.