Moh. Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
KOLOM saya, “Melihat Derita Koruptor”, yang dimuat di rubrik ini, Sabtu 12 November 2016 pekan lalu, mendapat tanggapan beragam. Ada yang merespons melalui Twitter, ada yang melalui grup-grup WA, dan ada yang mengirim SMS atau direct messageskepada saya. Pada umumnya penanggap merasa ikut sedih melihat koruptor yang keluarganya berantakan .
Seperti yang saya tulis, koruptor itu hidupnya sangat menderita. Ada yang anaknya menghilang karena malu, isterinya hidup susah ke sana kemari tidak ada lagi yang menghormati.
Ada yang anaknya dijauhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang mau mengambilnya sebagai jodoh. Ada yang harus menjadi wali nikah tapi berangkat dari penjara dan dikawal sehingga pernikahan menjadi mencekam, bukan hikmat.
Mantan mahasiswa saya, Iwan Wibisono, yang kini tinggal Melbourne Australia menyatakan setuju dengan tengarai saya bahwa banyak pejabat yang buang badan dan menimpakan korupsi yang dilakukannya kepada anak buahnya. Tetapi Iwan menunjuk juga bahwa banyak pejabat yang pasang badan untuk mengelola pemerintahan dengan baik dan membuat kebijakan namun akhirnya dikriminalisasi dan masuk penjara. Soalnya, apakah membuat kebijakan itu bisa dikriminaslisasikan?
Untuk masalah yang diajukan Iwan itu sebenarnya sudah pernah menjadi diskusi gemuruh di Indonesia, baik pada masa pemerintahan Pak SBY dulu maupun pada masa pemerintahan Pak Jokowi sekarang.
Pemerintah menyerukan agar kebijakan yang dibuat oleh para pejabat tidak dikriminalisasikan agar para pejabat tidak takut membuat kebijakan. Saya sendiri sering mengatakan, secara hukum sejak dulu memang kebijakan tidak boleh dikriminalisasikan.
Membuat kebijakan adalah bagian penting dari tugas-tugas pemerintahan. Jadi tidak perlu ada seruan, apalagi instrumen hukum baru, agar kebijakan tidak dikriminalisasikan. Sejak dulu pun sudah begitu hukumnya.
Sampai kini, rasanya, belum ada kasus pembuat kebijakan dikriminasasi. Semua pejabat yang dihukum memang dihukum karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Sebaliknya yang bisa membuktikan bahwa yang dilakukannya adalah kebijakan ya tidak diapa-apakan. Clear, kalau soal itu.
Banyak juga penanggap yang membandingkan dengan fatkta lain, misalnya, banyak koruptor yang tidak tampak menderita. Bahkan keponakan saya, Firman, mengatakan ada temannya yang baru keluar penjara karena korupsi sekarang menjadi pejabat lagi di satu kabupaten di Jawa Timur.
Jadi ada koruptor yang tidak menderita seperti yang saya gambarkan dalam tulisan “Melihat Derita Koruptor” itu. Buktinya lagi, mereka masih bisa tersenyum-senyum sambil melambaikan tangan kepada para wartawan pada saat digelandang ke tempat tahanan atau digiring ke ruang sidang pengadilan.
Itu pun adalah fakta yang tak terbantahkan. Banyak koruptor yang bertingkah, misalnya, masih marah-marah kepada wartawan seakan-akan dia masih pejabat. Ada juga yang, seperti kata beberapa penanggap, yang tertawa-tawa dan tiba-tiba berubah penampilan menjadi religius misalnya memakai baju koko atau berjilbab.
Tetapi itu semua tidak mengurangi keyakinan saya bahwa di dalam batinnya para koruptor itu tetap sangat menderita. Mereka tahu bahwa harga diri mereka sudah tergeletak di comberan, mereka tahu bahwa anak dan isterinya sudah tersisih dari pergaulan normal masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwa senyum mereka itu sebenarnya senyum iblis.
Kok disebut senyum iblis? Ya, karena menurut agama, sebenarnya, predikat koruptor itu sama dengan predikat iblis yakni makhluk terlaknat. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa iblis dilaknat karena tidak patuh pada perintah Tuhan dan di dalam Hadits Nabi ditegaskan bahwa Tuhan melaknat penerima suap dan pemberi suap alias koruptor. Jadi koruptor itu statusnya sama belaka dengan iblis, kelompok makhluk terlaknat.
Sekelompok penanggap lain yang masuk melalui WA dan Twitter kepada saya mengatakan, tidak benar juga kalau dikatakan koruptor itu menderita. Buktinya, banyak koruptor yang masih bisa bergembira di dan dari penjara. Bahkan ada yang menyebut penjara itu menjadi kantor atau hotel mewah bagi para koruptor karena bisa mengatur sendiri tempat tidur dan tempat menerima tamu layaknya pejabat yang memimpin kantor.
Ada yang bisa berkeliaran dan dipegoki di tempat umum dengan full dress yang mewah. Tentang itu semua pun tidak dapat dibantah.
Mantan Wakil Menkum-HAM Denny Indrayana saat melakukan inspeksi mendadak pernah menemukan ruangan mewah yang disetting seperti kantor dengan fasilitas elektronik yang canggih di sebuah lembaga pemasyarakatan. Ada home theatresegala.
Tempat itu ternyata menjadi semacam kantor seorang nara pidana yang terbukti menyuap seorang jaksa dan keduanya sama-sama dipenjarakan. Melalui rubrik ini pada tahun 2012 saya juga pernah menulis kesaksian sahabat saya (almarhum) Slamet Effendi Yusuf kepada saya.
Ceritanya, suatu hari Slamet mengontak temannya yang sedang meringkuk di penjara karena korupsi. Slamet ingin menyambung silaturrahim dengan temannya itu dan ingin menunjukkan bahwa rasa pesahabatannya masih melekat.
Disepakatilah, sang napi koruptor itu akan menerima kunjungan Slamat pada hari Minggu jam 8.00 pagi. Pada waktu yang dijanjikan Slamet datang ke lapas tersebut. Ternyata begitu tiba di sana, melalui call yang masuk ke telepon genggamnya, Slamet diminta datang ke sebuah hotel mewah. Temannya yang statusnya dipenjarakan itu sudah menunggu untuk breakfast di hotel mewah tersebut.
Bayangkan, orang dijebloskan ke lapas ternyata masih bisa berkeliaran dan menjamu pembezuknya di hotel mewah. Jadi benarlah, para koruptor itu tak semuanya terlihat menderita, melainkan masih bisa berjalan-jalan dan tersenyum lebar.
Tetapi bagi saya, senyuman mereka itu tak lebih dari senyuman iblis yang terkutuk. Bahkan para pejabat dan pegawai yang memfasilitas koruptor dengan kemewahan dan berkeliaran bisa juga digolongkan iblis-iblis yang harus ditertibkan oleh pemerintah.