TopikIndo.com – “Lihat! Itu bergerak. Dia hidup. Dia hidup… DIA HIDUP! Oh… Demi Tuhan! Sekarang saya tahu bagaimana rasanya menjadi Tuhan.”
Sudah 85 tahun berlalu setelah raungan monster Frankenstein terdengar dalam film yang dibuat James Whale pada 1931. Namun, kisah manusia jadi-jadian abad ke 19 karya Mary Shelley itu kini masih terus-menerus dibuat ulang dengan jalan cerita itu-itu saja -pengulangan yang cenderung mengkhawatirkan.
Tahun ini menandai ulang tahun ke 200 sejak Mary Shelley menceritakan dongeng itu. Dan, para pembuat film agaknya telah terbuai dengan kisahnya sejak sinema tercipta. Namun apa yang membuat mereka begitu terpesona?
“Ini memberikan peluang bagi saya untuk bermain-main dalam kengerian,” kata Whale kepada New York Times pada 1931. “Saya pikir itu akan asyik untuk mencoba dan membuat apa yang apa yang semua orang tahu sebagai sesuatu yang secara fisik tidak mungkin, jadi tampak bisa meyakinkan.”
Tampaknya bukan sekadar rasa penasaran yang membetot perhatian para sutradara terhadap kisah ini selama lebih dari 100 tahun.
Ini adalah kisah klasik tentang obsesi manusia menotak-atik alam dan juga tentang pengetahuan untuk tujuan baik maupun jahat. Dengan aksi-aksi yang epik, horor menakutkan, kehancuran kisah cinta, dan ketegangan yang mendirikan bulu kuduk, cerita monster Frankenstein masih memberikan keleluasaan untuk menjadi drama yang mendunia, atau ‘drama kamar’, atau bahkan dibuat sebagai komedi konyol atau animasi ganjil.
Seperti dikisahkan dalam Gothic, film drama karya Ken Russell pada 1986, monster Frankenstein tercipta di musim panas tahun 1816 di Danau Jenewa, Swiss.
Di situ, dikisahkan sejumlah penulis hebat pada abad 19 – seperti Lord Byron, Mary Godwin (yang kemudian berubah nama menjadi Mary Shelly), dan calon suaminya Percy Shelly, serta pencipta kisah vampir John William Polidori – berkumpul untuk saling berbagi tentang kisah-kisah hantu Jerman. Dipicu oleh cerita yang menakutkan ini, tuan rumah yang mulia Lord Byron menantang tamu-tamunya yang sama mulianya itu, untuk menciptakan cerita horor terbaik mereka.
Setelah dilanda kebuntuan ide (writer’s block) yang menghancurkan jiwa, Goodwin mulai mengarang percakapan tentang galvanisme (yang antara lain mencakup stimulasi dan kontraksi otot lewat listrik) sebagai jalan yang mungkin untuk menghidupkan kembali mayat. Dia lalu menciptakan tokoh ilmuwan kompulsif yang mencoba mensiasati maut dengan menciptakan kehidupan. Maka lahirlah mahluk ciptaan jenius Mary Shelley itu.
Dua abad setelah musim panas yang penuh berkah itu, monster Frankenstein sudah begitu mendarah daging dalam kesadaran budaya, sehingga sulit untuk membayangkan bagaimana mengguncangkannya prospek mahluk kontradiktif ini pada generasi-generasi sebelumnya.
Nyatanya, buku itu dicemooh seiring penerbitannya pada 1818 – ide membangkitkan mayat membangkitkan rasa jijik.
Betapa pun, cerita monster yang kurang sakral ini meresap juga ke berbagai lapisan masyarakat, memicu kegilaan populer dunia sains, dan dilema etika serta potensi akibatnya yang mengerikan – hampir sama menakutkannya sekarang dengan 200 tahun lalu.
Frankenstein dalam film
Meski ada ketakutan terkait sains yang salah arah, film pertama Frankenstein justru berfokus pada aspek psikologis.
Dalam film Frankenstein karya J Searle Dawley (1910) monster itu muncul dari kuali besar yang mendidih. Kreasi yang mengerikan dengan rambut acak-acakan itu lantas muak sendiri dengan bayangannya dalam sebuah momen kesadaran diri.
Sejak upaya awal itu, para pembuat film berupaya menangkap esensi ciptaan Shelley – dengan berbagai tingkat kesuksesan yang berbeda.
Mengikuti kesuksesan sosok Frankenstein yang dimainkan oleh Colin Clive tahun 1931, dibuatlah sekuelnya Bride of Frankenstein (1935) yang menahbiskan sosok Elsa Lanchester sebagai pasangan Frankenstein dengan rambut disasak, yang dikenang dalam adegan populer ketika dia menjerit ketakutan melihat calon suaminya.
Namun Universal Pictures mengakhiri seri itu, setelah dua sekuel dan tiga film campur sari lain, dengan sebuah slapstick, Abbott and Costello Meet Frankenstein(1948), komedi horor yang menampilkan tidak hanya Frankenstein, tapi juga Drakula, dan Manusia Serigala.
Setelah satu dekade absennya Frankenstein, munculah serangkaian horor Hammer yang cukup menyenangkan untuk ditonton. Horor Hammer merujuk pada nama sebuah perusahaan produksi film yang menjadi terkenal karena memproduksi film horor berwarna yang pertama, yang terutama menonjol karena bergesernya fokus kepada sosok Frankesntein sebagai seorang baron berkecenderungan bunuh diri yang diperankan aktor Inggris.
Lalu munculah Young Frankenstein (1974) karya Mel Brooks yang berusaha menggali sisi parodi monster ini, sebelum akhirnya Kenneth Branagh mengembalikan makhluk itu kembali ke wilayah yang lebih suram 20 tahun kemudian dengan extravaganza habis-habisan, Mary Shelley’s Frankenstein (1994).
Dan butuh dua dekade lagi untuk benar-benar menghormati tradisi karya Shelley ini secara selayaknya melalui film animasi Tim Burton berjudul Frankenweenie (2012), sebuah tribut lewat kisah upaya tulus dari seorang anak pintar yang berusaha menghidupkan kembali hewan peliharaannya yang mati.
Baru-baru ini, Dr Frankenstein dan para monsternya yang berjiwa jadi pelaku pertumpahan darah di jalan-jalan dalam seri televisi Penny Dreadful (2014). Dengan mudahnya melampaui batas-batas generasi, mayat-mayat tua itu tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.
Eksperimen yang gagal
Film-film Frankenstein banyak diperkaya dengan dimensi pathos -derita perjuangan manusia- seperti dalam karya-karya Shakespeare, namun para sutradara umumnya gagal untuk menciptakan adaptasi kontemporer definitif kisah ini. Kenneth Branagh menunjukkan ambisi besar untuk kukuh pada cerita aslinya. Tapi dengan teatrikalitas yang berlebihan, Mary Shelley’s Frankenstein malah menjadi film suram yang nyungsep di pasaran.
Diadaptasi dari novel grafis ‘I, Frankenstein‘ (2014) digambarkan sebagai ‘babak baru dari cerita Shelley.’ “Saya mau mengajak Frankenstein dalam sebuah perjalanan menemukan kemanusiaannya dan tujuan hidupnya – intinya, kisah monster yang menjadi manusia,” klaim pembuat film itu, Stuart Beattie. Tapi upaya untuk mengubah makhluk (yang diperankan oleh Aaron Eckhart) menjadi pahlawan laga yang menyelamatkan umat manusia, jatuh dalam kegagalan yang payah.
Betapapun, bisa jadi filmlah yang paling efektif merajut kisah karya Shelley itu sebagai sesuatu yang asli dan bermakna. Karya David Cronenberg yang melelahkan secara emosional, The Fly (1986) adalah variasi lain dari tema ilmuwan pencipta yang sinting. Namun, dalam proses yang mengecoh, ilmuwan Seth Brundle (Jeff Goldblum) menjadi sang monster ketika gen-nya bercampur dengan seekor lalat saat dilakukan eksperimen teleportasi.
Baru-baru ini, reinterpretasi karya Max Landis, Victor Frankenstein (2015) memilih untuk berfokus pada hubungan perkawanan Victor dan asistennya yang bongkok, Igor (yang tidak ada di novelnya). Menilai dari tuduhan keras kritis yang menyebutnya sebagai peniruan terhadap Sherlock, film ini boleh diibilang sebagai eksperimen yang gagal juga.
Jadi apakah kita akan melihat gaya bertutur modern yang kokoh dari kisah ini? Mengingat perhatian kita sekarang ini terhadap riset tentang kloning dan penelitian sel induk, Frankenstein tampaknya tidak kehilangan aspek kengeriannya yang orisinal atau relevansinya di jaman ini. Selama terdapat kekhawatiran terkait kekuatan sains dan ruh manusia, akan selalu tersedia ruang bagi monster ini untuk tetap bergentayangan.