Korupsi di Tanah Air sampai kini masih menjadi ‘penyakit’ dengan permasalahan pelik yang sulit sekali untuk disembuhkan. Harapan melalui obat mujarab langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan pada 2003 belum jua dapat secara efektif menyembuhkannya.
Suntikan demi suntikan dosis obat yang diterapkan, tetap saja masih tidak menyembuhkan penyakit, bak virus yang menggerogoti tubuh manusia dan menjalar ke mana-mana. Tindakan efek kejut dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak juga membuat gentar para “tikus” yang menggerogoti keuangan negara.
Seolah-olah, pemberitaan yang tertera baik di media cetak, online, ataupun televisi, hanya sekadar hiasan informasi saja dan belum juga membuat tobat para pelaku korupsi. Padahal pemberitaan itu setiap hari menghiasi media massa baik secara cetak maupun secara elektronik. Sungguh-sungguh membuat miris.
Tidaklah mengherankan bahwa Transparency International pada 2015, pernah menerbitkan indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) tahunan di kalangan pejabat publik dan politisi di seluruh dunia, Indonesia menempati peringkat 88 dari total 175 negara.
Sebenarnya kinerja institusi yang menangani tindak pidana korupsi tersebut, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) serta kepolisian, tidaklah terlalu buruk. Ketiga institusi itu terus bekerja mengatasi penyakit akut tindak pidana korupsi.
Dari data yang diperoleh Antara selama 2016, kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) terhitung mengagumkan khususnya di Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) atau bidang yang menangani perkara kasus tindak pidana korupsi dengan hanya berbekalkan dana “cekak” Rp487.692.862,- termasuk anggaran operasionalnya, bidang tersebut berhasil menyelamatkan keuangan negara Rp1,3 triliun yang dimasukkan dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Perkara yang ditangani di seluruh Indonesia untuk penyelidikan sebanyak 1.451 perkara, kemudian penyidikan 1.392 perkara, penuntutan 2.066 perkara, sedangkan eksekusi terhadap perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sebanyak 1.557 perkara.
Berbeda halnya dengan KPK memiliki anggaran yang besar seperti pada 2016 sebesar Rp421,5 miliar, menyelamatkan keuangan negara Rp497,6 miliar yang dimasukkan ke dalam kas negara dalam bentuk PNBP.
Sedangkan yang masuk tahap penyelidikan sebanyak 96 perkara, penyidikan 99 perkara, kemudian penuntutan 77 perkara. Untuk eksekusi bagi yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sebanyak 81 perkara.
Dari data tersebut, spirit untuk pemberantasan korupsi dari aparat penegak hukum masih dapat dikategorikan relatif tinggi. Meski demikian alangkah baiknya untuk tidak melupakan upaya pencegahan. Pencegahan tetap menjadi yang paling utama untuk mengamputasi tindak pidana korupsi tersebut.
Sedikit menarik dalam data pemberantasan korupsi sepanjang 2016, adalah kinerja kejaksaan yang hanya bermodalkan pas-pasan itu masih mampu menyelamatkan keuangan negara mencapai angka Rp1,3 triliun. Mungkin alangkah bagusnya jika suntikan dana operasional yang hanya Rp487.692.862,- itu, ditingkatkan. Bukan tidak mungkin kinerjanya akan bertambah dengan semakin besar uang negara yang berhasil diselamatkan.
Terlebih lagi keberadaan kejaksaan tersebar di seluruh Indonesia, bukan tidak mungkin perkara yang diungkap semakin banyak pula. Saat ini menunggu itikad baik dari pemerintah untuk menambah anggaran kejaksaan.
Kalangan birokrasi Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan peringkat pertama pelaku korupsi di Indonesia berasal dari kalangan birokrasi.
“Korupsi adalah masalah klasik. Berdasarkan data kami, sejak 2004 sampai semester II 2016, birokrasi ada di urutan pertama pelaku korupsi di Indonesia. Urutan kedua adalah DPRD dan kepala daerah,” ujar Ade Irawan.
Menurut Ade, praktik korupsi yang dilakukan birokrasi umumnya berupa pemerasan, memanipulasi tender, menganggarkan kegiatan fiktif, hingga korupsi kecil-kecilan seperti memanipulasi uang transportasi, hotel dan uang saku.
“Jika birokrasi melakukan korupsi maka tujuan dari keberadaan birokrasi sebagai pelayan masyarakat menjadi tidak berjalan,” kata Ade.
Dia mengatakan, faktor utama praktik korupsi birokrasi berasal dari eksternal, yakni adanya tekanan dari atasannya sebagai kepala daerah.
Oknum kepala daerah kerap memaksa birokrat yang menjadi bawahannya untuk melakukan korupsi.
“Birokrasi menjadi eksekutor keputusan korupsi atasannya. Misalnya atasannya akan membagi-bagi jatah anggaran, nanti yang mengeksekusi birokrasinya,” jelas dia.
Ade menekankan praktik korupsi di lingkup birokrasi merupakan cerita lama, di mana birokrat akhirnya menjadi pelayan penguasa bukan abdi masyarakat.
“Makanya terjadi jual beli jabatan. Dan jual beli jabatan ini bukan hanya bicara uang negara yang hilang, tapi bicara dampak yang lebih dahsyat, di mana negara tidak mampu melayani warganya,” kata Ade.
Ade menilai langkah jangka pendek yang dapat diterapkan guna menghilangkan praktik korupsi di lingkungan birokrasi adalah dengan memperkuat keberadaan masing-masing institusi yang ada.
“Kalau ditangkap kepala daerahnya, saya kira tidak akan pernah kapok. Karena korupsi dengan model suap dua-duanya diuntungkan,” kata dia.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi selama ini belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para koruptor atau para calon koruptor.
“Dari fakta-fakta ini, membuat saya sering bertanya-tanya mengapa walaupun jumlah koruptor yang dipenjara sudah banyak dan yang ditangkap tangan juga sudah banyak, namun praktik korupsi dan perilaku korupsi masih terus terjadi dan terus berlanjut,” kata Presiden Jokowi saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2016 di Balai Kartini Jakarta, Kamis (1/12).
Presiden menyatakan setuju dengan pendapat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa yang sangat diperlukan saat ini adalah penegak hukum yang berintegritas.
Ia menyebutkan masalah yang berkaitan dengan inefisiensi birokrasi juga perlu segera dibenahi.
Dalam kesempatan itu Kepala Negara menyebutkan ada tiga problem besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama, berkaitan dengan korupsi, kedua, tentang inefisiensi birokrasi dan ketiga, berkaitan dengan ketertinggalan infrastruktur.
“Tiga hal besar ini yang harus kita atasi bersama-sama,” kata Presiden Jokowi.
Menurut dia, jika indeks persepsi korupsi dan indeks daya saing dapat diperbaiki maka peringkat kemudahan untuk memulai berusaha di Indonesia juga akan meningkat.
“Kalau ini bisa dikerjakan, yang berkaitan dengan tadi indeks persepsi korupsi, yang berkaitan dengan indeks daya saing, yang berkaitan dengan ‘ease of doing business’ saya kira kita akan menempati ranking yang baik,” kata Presiden.
“Kita harus bekerja lebih keras lagi, lebih komprehensif dan lebih terintegrasi dan jangkauan pemberantasan korupsi harus mulai dari hulu sampai hilir, dari pencegahan sampai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas,” katanya.