Perilaku Korupsi di Indonesia akhir-akhir ini makin masif.
Beberapa hari terakhir ini kita mendengar salah satu calon Wali Kota di daerah Jawa Barat di tangkap tangan oleh KPK, padahal statusnya sebagai Calon yang telah di tetapkan oleh KPU.
Hal itu disampaikan Koordinator Jaringan Pemuda untuk Demokrasi (JarDem), Andriyana dalam Diskusi Publik dengan tema “Urgensi People Power Dalam Membongkar Megakorupsi” di Hotel Sofyan Betawi, Menteng, Jakarta, Minggu (11/12).
“Kejadian kepala daerah di tangkap KPK atau masuk penjara sebenarnya bukan hal yang baru. Layar televisi masyarakat Indonesia sering di suguhi berita-berita seperti ini. Kasus pengkapan kepala daerah karena kasus korupsi mewarnai proses demokratisasi bangsa Indonesia,” tutur Andriyana.
Dia menjelaskan berdasarkan data yang di peroleh dari Kementerian Dalam Negeri, tercatat hingga Februari 2014 sebanyak 318 kepala daerah dari total 524 kepala daerah seluruh Indonesia tersangkut masalah korupsi.
Jumlah itu terdiri dari keterlibatan Gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur tujuh orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang.
“Tercatat juga 1.221 nama pegawai pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 877-nya sudah menjadi terpidana,” kata dia.
Selain itu, lanjut Andriyana, Laporan Transparansi Internasional (TI) mengenai indeks persepsi korupsi global 2012 memberikan gambaran hubungan negatif demokrasi dan korupsi.
Di antara 20 negara yang dianggap paling bersih dari korupsi (20 peringkat teratas), 19 adalah negara berkategori demokrasi.
“Hanya satu negara, yakni Singapura, yang masuk kategori paling bersih dari korupsi, tetapi tidak tergolong negara demokrasi. Sebaliknya, 20 negara yang menduduki peringkat terbawah atau dianggap paling korup, semuanya tergolong negara bukan demokrasi” terang dia.
Kemudian berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenkominfo, ternyata korupsi di Indonesia itu 77% dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dan modus paling banyak yaitu penggelapan dan penyalahgunaan wewenang yaitu sebanyak masing-masing 514 kasus. Dari data di atas memberikan gambaran paradox kedua bahwa demokratisasi yang di buka sampai daerah memicu korupsi di tingkat daerah.
“Kalau dulu di zaman orde baru korupsi itu terpusat di pemerintah pusat sekarang pindah ke pemerintah daerah. Oleh karena itu pemantauan prosesi pemilihan kepala daerah ini harus serius dipantau,” paparnya.
Terakhir menurut Andriyana ada beberapa hal yang sangat penting dikawal agar demokrasi kita lebih berkualitas dan sampai kepada substansinya, yakni mengawal penyelenggara pemilu agar bersih dari praktik koruptif dan manipulatif.
Termasuk mengawal calon yang mengajukan diri sebagai calon kepala daerah ini supaya bersih secara track record dan juga perilaku di lapangan dan mengawal proses pemilukada agar bersih dari praktik money politic dan tindakan curang yang lainnya.
“Tiga hal di atas apabila dikawal dengan baik ini akan berpengaruh terhadap kualitas demokrasi bangsa Indonesia, juga bisa mempersempit ruang-ruang korupsi di Indonesia,” tandas Andriyana.
Dalam diskusi tersebut Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto menambahkan, fenomena korupsi di Indonesia ibarat sebuah lautan.
Pilihannya cuma dua, harus menjadi buih atau menjadi gelombang.
“Sehingga ketika saya dulu berada di dalam KPK, memang agak sulit. Karena ketika masuk pada era politik uang saat ini, semua hal tersebut bisa mereka beli. Dan saya berada dalam kehati-hatian saat itu,” kata BW sapaannya menjelaskan.
Sebagai salah satu contohnya kata BW, sebenarnya permasalahan reklamasi ada di 37 lokasi. Tapi yang diributkan hanya 2, yakni Reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa.
“Masih banyak lagi kasus-kasus korupsi yang lain yang belum terungkapkan. Oleh karena itu butuh upaya gerakan bersama, jika kita peduli dengan bangsa ini dengan bersama-sama menyelesaikan masalah korupsi,” tegasnya.