Jika ada audisi politisi Indonesia paling licin, nama Setya Novanto sepertinya bakal keluar sebagai kampiun. Politisi Golkar satu ini benar-benar menunjukkan kelihaiannya dalam bermain catur politik. PDIP boleh menang pada Pimilu 2014, sekaligus mengantarkan Jokowi menjadi presiden. Akan tetapi, Setya Novanto dkk berhasil mengubah UU demi menguasai parlemen, dengan pengangkatan dirinya sebagai ketua DPR ditemani beberapa koleganya dari Koalisi Merah Putih.
Tak lama menjadi ketua DPR, Setnov tersandung skandal Papa Minta Saham. Bersama miliarder Riza Chalid, dia hendak membagi-bagi saham Freeport. Dalam sebuah rekaman, dia menyebut Jokowi keras kepala dan susah diatur. Wow, dia berusaha mengatur presiden!
Skandal Setnov masih berlanjut karena hadir dalam kampanye Donald Trump. Akibat dua kasus besar yang berdekatan, Setnov jadi bulan-bulanan di media dan menjadi musuh publik. Singkat cerita, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) hendak memberhentikannya dari jabatan ketua DPR.
Namun, Setnov bukan politisi kemarin sore, di menit-menit akhir sebelum keputusan pemberian sanksi, dia mengundurkan diri pada 16 Desember 2015. Kasus pun berhenti dan Setnov tetap menjadi anggota DPR biasa.
Orang kira karir politik Setnov bakal berakhir, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Setnov mengambil langkah-langkah taktis dan pragmatis, dia mendekat ke pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, orang yang sebelumnya habis-habisan dijadikan bahan gosip bersama Riza Chalid.
Hasilnya, langkahnya menjadi ketua partai Golkar menggantikan Aburizal Bakrie mulus. Dia resmi mengendalikan partai beringin pada 17 Mei 2016, hanya lima bulan dari skandal yang menghebohkan itu—sekaligus menjadi bukti betapa orang Indonesia mudah sekali lupa.
Enam bulan kemudian, masyarakat dibuat geleng kepala dengan manuver politik Setnov. Dia ternyata berhasil menduduki kembali jabatan yang sebelumnya raib, yakni ketua DPR, dengan “mendongkel” Ade Komaruddin. Secara formal, Ade diberhentikan oleh MKD DPR karena diputus bersalah terkait laporan RUU Pertembakauan. Selain lengser, politisi asal Purwakarta itu pun tidak boleh menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan.
Akan tetapi, orang tidak serta-merta mau menerima mentah-mentah penyebab pelengseran Ade. Mereka yang biasa mengamati liku politik Indonesia segera mengaitkannya dengan Setya Novanto.
Setnov sekarang benar-benar gagah perkasa di kancah politik: menjadi ketua Partai Golkar sekaligus Ketua DPR. Di luar itu, koleganya Donald Trump pun menjadi penguasa di negara paling digdaya di muka bumi. Faktor Trump turut mempengaruhi citra strategis Setnov di mata Jokowi. Komplit sudah pencapaian Setnov sebagai politisi di level legislatif dalam trias politika yang dianut Indonesia.
Dengan kelihaian ini, bukan mustahil, Setnov bakal merambah ranah eksekutif dengan mencicipi minimal menjadi calon wakil presiden di 2019. Hal ini tidak sulit dia wujudkan jika kedekatan dengan Trump dan Jokowi benar-benar dimanfaatkan.
Salah seorang pemimpin gerakan kemerdekaan Kuba José Martí (1853-1895) pernah mengatakan, “Kewajiban pertama dari seseorang adalah memikirkan dirinya sendiri.”
Setnov benar-benar telah mengamalkan ungkapan tersebut dalam karir politiknya. Dia tak perlu seperti kebanyakan orang yang sering malu dan berpikir yang bukan-bukan jika ingin melakukan sesuatu, lebih baik fokus memikirkan karir pribadi.