Kebijakan KPU DKI yang akan merencanakan kampanye pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 tidak memiliki dasar hukum yang kuat, serta tidak ada urgensitas yang genting dalam menerapkan kebijakan tersebut.
Aturan setingkat SK KPU tidak bisa atau sangat lemah untuk menjadi dasar penerapkan kebijakan perencanaan kampanye.
Sebagaimana diketahui dalam UU Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya pasal 11 menyebutkan:
(1) Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
(2) Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
(3) Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Jadi dalam bunyi ayat-ayat di atas tersebut, tidak menyebut sama sekali tentang pelaksanaan kampanye pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta, serta pemilihan gubernur dan persyaratan serta tata cara penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur seperti yang ditegaskan ayat tiga diatur dalam peraturan perundang-undangan, bukan oleh SK KPU
Sementara di sisi lain UU No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 70, menegaskan, sebagai berikut:
(1) Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan:
a. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah
b. aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.
(2) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
(4) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri.
(5) Cuti yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota kepada KPU Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 70 ayat (2), di atas disebutkan bahwa, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal ini tentu menciderai asas keadilan elektoral, dimana pasangan yang bukan petahana, tidak bisa melakukan kampanye dengan mengajak pejabat negara atau pejabat daerah.
Hal yang lebih lucu, calon petahana memprotes untuk menyarankan tidak kampanye.
Entah ini sandiwara politik untuk mendapat simpati masyarakat agar terlihat lebih adil dalam proses pelaksanaan putaran kedua Pilgub DKI Jakarta, atau hanya ungkapan “kegirangan politik”.
Oleh karena itu, KIPP Indonesia menyarankan agar lebih baik putaran kedua Pilgub DKI Jakarta 2017, tidak ada penyelenggaraan kampanye dan cuti.
Karena merugikan paslon lain yang bukan petahana. Dan KPU DKI dalam hal ini bisa dianggap melanggar Azas Penyelenggara Pemilu, seperti yang tertuang dalam Pasal 2, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemiliha Umum, khususnya, asas adil, kepastian hukum, proporsionalitas dan profesionalitas. (Girindra Sandino, Divisi Pemantauan dan Jaringan KIPP Indonesia)