Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pelaku usaha, terutama pengusaha tekstil, kerap mengeluh tak bisa kompetitif karena terdapat perbedaan tarif listrik yang cukup besar dibandingkan negara pesaing, yakni Malaysia dan Vietnam.
“Perbedaan tarif listrik yang harus mereka bayar sangat jauh. Indonesia mahal,” kata Enny dalam diskusi di restoran Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Juli 2017.
Kepala Satuan Unit Komunikasi Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) I Made Suprateka membantah hal tersebut. Menurut dia, tarif listrik di Indonesia selalu lebih murah dibandingkan tarif listrik di Malaysia. “Dari data yang ada, tidak ada tarif listrik Malaysia lebih murah daripada Indonesia,” ujarnya.
Menurut Made, tarif listrik rata-rata untuk rumah tangga di Indonesia Rp 1.136 per kWh dan di Malaysia Rp 1.374 per kWh. Untuk bisnis, tarif listrik rata-rata di Indonesia Rp 1.149 per kWh dan di Malaysia Rp 1.320 per kWh. “Sementara tarif listrik untuk industri besar, Indonesia Rp 1.011 per kWh dan Malaysia Rp 1.066 per kWh.”
Selain itu, murahnya tarif listrik di Indonesia akan semakin terasa jika melihat faktor demografi. Malaysia memiliki demografi yang sebagian besar merupakan daratan. “Sementara Indonesia punya ribuan daerah yang terisolasi sehingga harus dibangun pembangkit dengan diesel di mana dia adalah energi paling mahal,” katanya.
Enny mengatakan, untuk menyelesaikan masalah tarif listrik, para pemangku kepentingan mesti bersinergi dan berkomitmen dalam penyediaan bahan baku bagi PLN. “Misalnya, bagaimana PLN dapat support BBM, gas, dan batu bara secara langsung, tidak pakai trader. Itu efisiensinya sangat signifikan,” ujarnya.